Humas WWF Indonesia Program Riau, Syamsidar, di Pekanbaru, Kamis, mengatakan, tetap menghormati vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, meski vonis lebih ringan satu setengah tahun dibanding tuntutan jaksa.
"Majelis hakim sudah memiliki pertimbangan dalam memutuskan hukuman. Kita menghormati dan yakin dengan proses hukum yang berlaku," katanya.
Syamsidar menilai, proses penegakan hukum tindak pidana pembunuhan harimau sumatera yang menarik perhatian publik pada September 2018 lalu berjalan cepat. Proses penegakan hukum secara cepat hingga vonis pada akhir Februari 2019 ini, lanjutnya, menjadi catatan positif dari WWF.
Atas putusan ini, Syamsidar berharap dapat dijadikan sebagai pembelajaran kepada setiap orang agar tidak bertindak serupa yang berpotensi melukai, atau yang lebih parah menyebabkan matinya satwa dilindungi.
"Terpenting lagi, penegakan hukum sudah berlangsung dengan cepat hingga putusan. Ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak, bahwa ada pelanggaran dan konsekuensi hukum ketika melakukan sesuatu yang berpotensi mencelakai satwa liar dilindungi," katanya.
Lebih jauh, WWF juga menyatakan jika pemerintah harus lebih intensif dalam melakukan sosialisasi dan edukasi, terutama kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dilindungi. Selain itu, WWF juga mendorong peran aktif perusahaan perkebunan dan industri kayu untuk turut melakukan sosialisasi serta edukasi hingga akar rumput.
Ia menjelaskan, berdasarkan data WWF, 75 persen perlintasan satwa dilindungi seperti gajah dan harimau berada di kawasan konsesi. Sehingga, perusahaan memiliki tanggung jawab tidak kalah besar untuk terus membantu pemerintah melakukan edukasi ke masyarakat.
"Semua pihak harus lebih intensif melakukan edukasi dan sosialisasi potensi keberadaan satwa dilindungi. Tidak hanya pemerintah, namun juga perusahaan-perusahaan yang memiliki konsesi. Pemasangan rambu-rambu keberadaan satwa dilindungi juga harus terus dilakukan," tuturnya.
Falalinin Halawa divonis tiga tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Teluk Kuantan dalam perkara pembunuhan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Dalam putusannya di Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Rabu malam (27/2), majelis hakim yang dipimpin Hakim Reza Himawan Pratama menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 40 Ayat (2) juncto pasal 21 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
"Menyatakan terdakwa Falalini Halawa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan satwa dilindungi. Menjatuhkan pidana tiga tahun penjara," kata Himawan, didampingi dua hakim anggota, Rina Lestari Br Sembiring dan Duano Aghaka.
Selain pidana tiga tahun penjara, hakim juga menjatuhkan hukuman denda kepada Halawa, pria berusia 41 tahun asal Nias, Sumatera Utara tersebut sebesar Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Putusan hakim tersebut lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri setempat. Dalam tuntutannya pada pekan lalu, jaksa Mochamad Fitri Adhy menuntut terdakwa dengan hukuman empat tahun enam bulan penjara.
Menanggapi putusan itu, Halawa dan kuasa hukumnya Yogi Saputra dari LBH Missiniaki Legal Coorporation serta JPU Fitry Ady sepakat menyatakan pikir-pikir.
Halawa sendiri dalam pembelaannya menyatakan dirinya tidak mengetahui jika Desa Indarung, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuansing yang menjadi tempat dia tinggal dan berkebun merupakan areal perlintasan harimau.
Dia mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi atau melihat rambu-rambu larangan pemasangan jerat. Jerat yang dipasang pria 41 tahun asal Nias, Sumatera Utara itu sejatinya dipergunakan menjerat babi agar tidak mengganggu perkebunan ubi miliknya. Nahas, jerat tersebut justru mengenai harimau bunting hingga mati. Total tiga harimau sumatera, terdiri satu induk dan dua janin yang telah terbentuk mati dalam insiden itu.
Pewarta: Fazar Muhardi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019