Jakarta, (ANTARA News) - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan alasan "gross split" atau skema bagi hasil diminati para investor.Semuanya ditentukan di awal, kalau sebuah lapangan memiliki CO2 yang besar maka akan mereka mendapatkan insentif
"Pada era sekarang ini dunia penuh dengan disrupsi, sehingga dunia migas juga perlu melakukan disruption salah satu adalah dengan menyangkut sistem fiskal kita, dulu menggunakan cost recovery sekarang menggunakan gross split, itu adalah disruption ESDM sendiri," kata Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar di Jakarta, Senin.
Lebih lanjut, dalam forum diskusi energi tersebut Arcandra menjelaskan bahwa gross split memiliki prinsip dasar Certainty (parameter pemberian insentif jelas dan terukur), Simplicity (tidak ada perdebatan mengenai biaya, dan pengadaan independen) dan Efficiency (mendorong industri migas untuk efisien sehingga mampu menghadapi gejolak harga minyak).
Perubahan kebijakan ini merupakan langkah disruptif Pemerintah dalam pengembangan migas Indonesia.
"Semuanya ditentukan di awal, kalau sebuah lapangan memiliki CO2 yang besar maka akan mereka mendapatkan insentif, kalau lapangan tersebut di remote area maka akan diberikan insentif, kalau oil price rendah maka mereka akan dikasih insentif lebih tapi kalau oil price tinggi, maka negara akan insentif lebih," jelas Arcandra.
Prinsip yang kedua gross split adalah simplicity. Salah satu kendala untuk mempercepat bisnis proses migas dalam penentuan biaya pada Plan of Development (POD), "Berapa lama dulu diskusi cost ini di SKK Migas, cost tidak lagi domain SKK Migas, tapi SKK Migas sekarang pada domain work program. Prinsip simple ini akan mempersingkat bisnis proses yang lama sekali." ungkap Arcandra.
Pada prinsip terakhir gross split adalah efficiency, dengan prinsip ini akan memaksa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk efisien, karena biaya ada di sisi KKKS. Ketidakefisien KKKS tidak berimbas lagi kepada APBN, selama ini APBN terekspose dengan KKKS efisien atau tidak, kalau tidak efisien maka membengkaklah cost recovery yang ditanggung negara, jika KKKS-nya efisien maka cost recovery bisa turun.
Sebagai bukti bahwa perubahan sistem fiskal kita meningkatkan daya saing, terlihat dalam laporan Petroleum Economics and Policy Solution (PEPS) Global E&P Attractiveness Ranking yang dikeluarkan oleh IHS Markit yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-25 dari 131 negara.
Berdasarkan laporan yang sama, Indonesia juga menduduki peringkat terbaik apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Bila dikomparasikan, Malaysia misalnya, pada tahun 2017 menduduki peringkat ke-23, sekarang ini melorot ke posisi 35.
Begitu juga dengan laporan yang dikeluarkan oleh lembaga Wood Mackenzie, yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki citra positif dalam pengembangan hulu migas.
Baca juga: Sebanyak 40 kontraktor migas gunakan skema "gross split"
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019