Perubahan zaman menuju Revolusi Industri 4.0 menuntut sektor industri dan perdagangan harus berkembang salah satunya adalah e-commerce yang memudahkan masyarakat untuk berbelanja tanpa harus bertemu langsung dengan pedagang.Di Indonesia sendiri sudah ada empat perusahaan yang mendapat julukan unicorn yaitu Go-Jek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia. Untuk decacorn, Go-Jek sebentar lagi akan mampu mendapat julukan tersebut karena saat ini valuasi Go-Jek sudah mencapai 9
Hanya saja kehadiran e-commerce yang awalnya bukanlah sebuah ancaman bagi banyak pihak. Akan kini kehadiran e-commerce saat ini sudah menjadi pesaing terutama dari kalangan peritel modern.
Banyaknya perubahan yang dibawa oleh e-commerce diantaranya dengan membawa istilah baru yaitu unicorn dan decacorn. Unicorn yang berarti startup atau perusahaan rintisan yang telah memiliki valuasi sebesar 1 miliar dolar AS (setara Rp14 triliun). Sedangkan untuk decacorn, merupakan startup yang telah mencapai nilai valuasi di atas 10 miliar dolar AS (setara Rp140 triliun).
Di Indonesia sendiri sudah ada empat perusahaan yang mendapat julukan unicorn yaitu Go-Jek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia. Untuk decacorn, Go-Jek sebentar lagi akan mampu mendapat julukan tersebut karena saat ini valuasi Go-Jek sudah mencapai 9,5 miliar dolar AS.
Indonesia merupakan pasar dengan pertumbuhan e-commerce yang menarik dari tahun ke tahun. Pasar e-commerce di Indonesia merupakan yang terbesar terutama di Asia Tenggara. Bahkan dalam dalam empat tahun terakhir mengalami kenaikan sebesar lima kali lipat. Sejak tahun 2014, Euromonitor mencatat, penjualan online di Indonesia sudah mencapai 1,1 miliar dolar AS.
Data sensus Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebut, industri e-commerce Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat hingga 17 persen dengan total jumlah usaha e-commerce mencapai 26,2 juta unit. Pada tahun 2018, e-commerce di Indonesia tercatat mengalami pertumbuhan sangat pesat dan diperkirakan akan terus meningkat seiring berkembangnya jumlah pengusaha dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di tanah air.
Tahun 2018 menjadi tahun yang sangat baik bagi e-commerce Indonesia. Banyak pedagang yang mulai beralih, dari berjualan secara offline menjadi online. Perusahaan-perusahaan besar mulai bergabung ke dalam pasar e-commerce. Besarnya peluang dan pertumbuhan yang cepat menjadi penyebab perpindahan pedagang dari offline menuju online, seperti Matahari Departement Store melalui matahari.com atau Blue Bird melalui My Blue Bird.
Potensi besar industri e-commerce di Indonesia juga dipengaruhi oleh gaya belanja online, terutama dari generasi milenial. Menurut Indonesia Millenial Report 2019, milenial sangat suka mencari perbandingan harga, fitur, program promo dan kualitas produk di beberapa e-commerce sebelum memutuskan membeli sebuah barang.
Para millenial juga tidak segan untuk merekomendasikan e-commerce atau toko online favorit mereka kepada teman-teman mereka.
Banyaknya pilihan dalam satu genggaman membuat masyarakat terutama kaum milenial dimanjakan sehingga mereka tidak repot dan bisa menghemat waktu mereka.
Hambatan e-commerce
Hambatan dalam pertumbuhan e-commerce di Indonesia terkait jumlah transaksi yang masih kurang untuk industri yang sangat besar ini. Transaksi e-commerce di Indonesia perlu ditingkatkan lagi mengingat pertumbuhannya masih di bawah 10 persen dibandingkan dengan pertumbuhan pengguna internet yang sudah mencapai 50 persen
Menurut pakar e-commerce, Ignatius Untung terdapat 31,6 juta pembelian melalui e-commerce. Jumlah ini tidak sampai separuh pengguna internet yakni sebanyak 140 juta pengguna.
Dia menjelaskan rata-rata belanja pengguna dalam setahun, yaitu satu juta sampai 1,5 juta. Jumlah transaksi ini terlalu sedikit untuk pasar yang besar seperti di Indonesia.
Hambatan lainnya adalah rendahnya tingkat digital interest akan internet di Indonesia. Mungkin kaum milineal saat ini sudah gemar menggunakan internet, tetapi untuk para kaum non milineal, internet bukanlah sesuatu yang utama bagi mereka. Sehingga belum sepenuhnya masyarakat Indonesia menggunakan layanan e-commerce.
Kualitas produk yang belum konsisten juga menjadi hambatan dalam pertumbuhan e-commerce. Tidak adanya standar akan mutu suatu produk membuat pembeli ragu jika barang yang dibeli akan berbeda dengan yang ada di foto. Mungkin di foto terlihat bagus tapi saat datang barangnya mengecewakan.
Hal ini masih perlu peningkatan dari pihak e-commerce. Bagaimana membuat barang yang dijual harus mampu memenuhi ekspetasi pembeli sehingga pembeli tidak akan kecewa dan akan kembali membeli secara online.
Ketakutan akan produk tidak sesuai harapan juga menjadikan hambatan karena itu artinya masyarakat Indonesia masih banyak yang lebih memilih untuk berbelanja secara offline karena mereka bisa melihat kualitas barangnya, bisa menyentuh barang yang akan dibeli sebelum menentukan apakah mereka akan membeli barang tersebut.
Melihat langsung dan memegang langsung merupakan stimulus yang membuat orang ingin berbelanja jika sebelumnya mereka tidak ingin berbelanja. Ketidakmampuan melihat dan memegang langsung saat berbelanja online membuat stimulus berbelanja tidak terangsang dalam otak pembeli karena mereka hanya melihat foto saja.
Ignatius Untung mengingatkan pentingnya membangun kepercayaan masyarakat akan produk yang akan mereka beli serta peningkatan standar mutu suatu produk akan menjadi prioritas utama dari para pelaku e-commerce dalam membuat lebih banyak Unicorn di Indonesia.Tentunya dengan terus meningkatkan kualitasa yang sudah ada.
Saat ini para pelaku e-commerce tengah bahu-membahu meningkatkan pelayanan e-commerce dan memajukan e-commerce di Indonesia sehingga e-commerce Indonesia mampu menjadi pendapatan tertinggi tidak hanya di Indonesia namun di dunia. Diprediksi pada tahun 2020, transaksi e-commerce akan senilai 12 miliar. Dan angka tersebut diharapkan akan terus mengalami kenaikan. ***1***
Baca juga: Kembangkan SDM ekonomi digital, pemerintah gandeng Tokopedia, Bukalapak, Gojek
Baca juga: Kepala BKPM katakan tak perlu khawatir investasi asing di unicorn mudah keluar
Pewarta: Alya Rahma Widyanti dan Ganet Dirgantara
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019