Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Sumatera Selatan Made Toya mengatakan ogoh-ogoh merupakan salah satu rangkaian yang biasa dilakukan jelang puncak Hari Raya Nyepi.
"Ogoh-ogoh sudah akrab di masyarakat sejak beberapa tahun terakhir dan menjadi rangkaian Hari Raya Nyepi. Istilah ogoh-ogoh diambil dari proses ketika patung astral berbentuk setan di goyang-goyang sampai hancur," ujar Made Toya saat pengarakan ogoh-ogoh.
Sebelum mengarak ogoh-ogoh, Umat Hindu di Kota Palembang dan sekitarnya melakukan sembahyang pada pagi dan siang hari, sedangkan ogoh-ogoh di arak pada sorenya.
Bentuk ogoh-ogoh kali ini mewakili Bhuta-Kala (Bhuta artinya energi abadi, Kala artinya waktu abadi), digambarkan sebagai setan berwajah seram menakutkan dan dianggap penggangu yang harus dinetralkan dari jiwa sebelum tibanya Hari Raya Nyepi.
Usai sembahyang, 10 sampai 15 remaja dan anak-anak mengarak ogoh-ogoh tersebut, ogoh-ogoh besar dengan tinggi 2 meter diarak oleh para remaja, sedangkan ogoh-ogoh kecil setinggi 1 meter diarak oleh para anak-anak.
Selama 1 jam pengarakan, ogoh-ogoh diguncang-guncangkan sampai hancur, selanjutnya ogoh-ogoh dibakar sampai habis, dengan demikian roh-roh jahat dianggap sudah menghilang, lanjutnya.
Ia menambahkan bentuk ogoh-ogoh tidak selalu sama, tergantung kreativitas pembuatnya.
Yang terpenting adalah dengan dibakarnya ogoh-ogoh maka hilang roh-roh jahat dan ada introspeksi diri pada setiap individu, kata dia.
Sementara itu, riuhnya pelaksanaan ogoh-ogoh sempat menarik perhatian warga sekitar pura. Sebagian bahkan mengabadikan momen tersebut menggunakan telpon pintar.
Baca juga: Pawai ogoh-ogoh di Kupang diikuti berbagai keyakinan berbeda
Baca juga: DLHK kerahkan 1.100 tenaga kebersihan pada "Malam Pengerupukan Nyepi"
Baca juga: Ribuan penganut Hindu ikuti Tawur Agung di Prambanan
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019