"Pendorong dan penyebab utama pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa sangat bervariasi di seluruh wilayah dan bahkan di dalam negara. Namun di setiap konteks, pernikahan anak berakar pada ketidaksetaraan dan diskriminasi gender," ujar Shariffah dalam diskusi tentang pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, Rabu.
Berbicara dalam forum yang diselenggarakan ASEAN untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, Shariffah menyampaikan bahwa kasus pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa atau child, early and forced marriage (CEFM) juga dipengaruhi norma, tradisi sosial dan budaya dengan keyakinan masyarakat yang mengakar kuat.
"Tradisi budaya, termasuk nilai-nilai lokal juga menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya pernikahan di bawah umur," kata dia.
Selain itu, Shariffah menyebut faktor ekonomi dan keadaan sistemik, seperti kurangnya kesempatan bagi kaum perempuan untuk mendapatkan kemandirian finansial, turut mendorong keluarga untuk memaksa anak-anak mereka menikah di bawah umur atau dini.
Berdasarkan data Dana Kependudukan PBB (UNFPA) dan Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), anak perempuan dari keluarga miskin di Asia Tenggara berpeluang besar untuk menikah sebelum usia 18 tahun daripada mereka yang berasal dari keluarga kaya.
Karena itu, Komite Hak Anak dan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan di bawah UNICEF menegaskan kembali 18 tahun sebagai usia minimum bagi perempuan untuk menikah. UNICEF juga menyebut CEFM sebagai pelanggaran hak-hak anak.
Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019