"Beberapa hari yang lalu kami berkomunikasi dengan pihak KBRI di Myanmar dan informasi yang kami peroleh 23 nelayan Aceh tersebut belum bisa dijumpai," kata Wakil Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftachhuddin Cut Adek, di Banda Aceh, Kamis.
Menurut dia, Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Indonesia di Yangon terus berkoordinasi terkait penangkapan 23 nelayan Aceh tersebut.
"Meskipun sulit, pemerintah terus berupaya menjumpai mereka," ujar dia.
23 nelayan Aceh itu berangkat melaut dari wilayah Kabupaten Aceh Timur pada 29 Januari 2019 dan ditangkap kapal Angkatan Laut Myanmar (nomor lambung 558) dekat dengan Pulau Zardatgyi di Kawthoung, wilayah Taninthayi, Myanmar, pada 6 Februari 2019 terkait dugaan pencurian ikan di sana.
"Kapal nelayan Aceh itu masuk ke perairan Myanmar karena kompas/radarnya rusak dan tanpa sengaja atau/sadar melakukan aktivitas di perairan tersebut karena menyangka masih di wilayah perairan Aceh, Indonesia," ujar dia
Identitas mereka: Zulfadli, Fakhrurrazi, Andi Syahputra, Junaidi, Muhammad, Warni Ramansyah, Syawaluddin, M Nazar, Darani Syah, M Acep, Abdullah, Agus Miranda, Mulyadi, M Amin, Ardi Saputra, Fhahrul Rozi, Abdurrahman, Zulkarnaini, Idris, Feri Mataniari, Darwinsyah, M Yakob, dan Mahfud.
Kepala Dinas Kelauatan dan Perikanan (DKP) Aceh Cut Yusminar sebelumnya menyatakan, "Pemerintah akan mendampingi warga negaranya yang ditangkap di luar negeri, dan kita ingatkan nelayan Aceh lebih berhati-hati saat melaut dan selalu memperhatikan GPS guna mencegah masuk ke negara orang."
Pada 6 November 2018, sebanyak 16 nelayan Kabupaten Aceh Timur ditangkap otoritas Myanmar, dan 14 di antaranya sudah kembali ke Tanah Air karena memperoleh pengampunan dari pemerintah Myanmar. Satu di antara mereka yang ditahan itu meninggal dunia saat penangkapan dan jenazahnya sudah dikebumikan di negara itu.
Lalu, seorang lagi Jamaluddin Amno masih menjalani proses hukum terkait dugaan pencurian ikan.
Pewarta: Irman Yusuf
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019