Gallery of Modern Art merupakan museum seni yang terletak di kawasan South Bank di Brisbane, Queensland, Australia, dan menjadi bagian dari Pusat Kebudayaan Queensland.
Pameran Seni Kontemporer Asia Pasifik ke-9 (APT) itu menampilkan karya-karya paling baru dan paling menarik yang diproduksi di Asia, Pasifik dan Australia. Pameran mencakup karya dari lebih dari 80 seniman, kolektif dan pembuat film yang berasal dari lebih 30 negara.
Di antara seniman yang terlibat tersebut ada empat seniman yang berasal dari Indonesia, yakni Zico Albaiquni, Aditya Novali, Handiwirman Saputra dan Elia Nurvista.
Karya yang menjadi sampul katalog dan wajah spanduk pameran itu adalah milik Zico Albaiquni yang menampilkan lukisan figuratif dan lansekap di mana Zico menuangkan aspek sejarah seni dan perkembangan Indonesia di dalam lukisan.
Dalam karyanya itu, terlihat beberapa lukisan yang dipajang di studio yang menjadi ruang kerjanya. Pada lukisan itu, tampak seorang pengunjung perempuan memotret lukisan yang menggambarkan singa menerkam zebra, lalu di sisi lain dari gambar itu terdapat seorang perempuan yang menari tarian Sunda.
Pengunjung perempuan dalam lukisan itu berdiri di atas kanvas lukisan dengan peralatan melukis yang masih tersebar tak beraturan di mana-mana seolah-olah mengisyaratkan proses kerja seniman. Zico yang tinggal di Bandung juga memasukkan studionya sendiri ke dalam komposisi lukisannya.
"Kami memilih karya seniman Indonesia dalam 'banner' yang di depan galeri ini, dan kami bangga akan karya ini," kata Deputy Director dari Queensland (QAGOMA) Simon Elliot kepada wartawan Indonesia di gedung QAGOMA di Brisbane, Queensland, Australia, Sabtu waktu setempat.
Dia menuturkan APT menjadi wadah untuk melihat perkembangan seni kontemporer berbagai negara di kawasan Asia, Australia dan Pasifik, serta melihat lebih dalam terkait sejarah dan multikulturalisme di wilayah tersebut.
"Ini adalah salah satu pameran yang paling penting di dunia yang menampilkan seni kontemporer dari wilayah Asia, Australia dan Pasifik di satu tempat," ujarnya.
Pameran Asia Pacific Triennial (APT) juga menjadi wadah untuk menampilkan karya-karya otentik dari berbagai seniman di wilayah Asia, Australia dan Pasifik.
"Kami memilih karya Zico untuk sampul katalog karena saya pikir karyanya sangat berani, baru dan berbeda yang menggunakan warna dan teknik yang hebat tetapi juga memberikan banyak referensi yang sangat menarik," kata Tarun Nagesh yang merupakan kurator Seni Asia di QAGOMA.
Seniman Indonesia
Indonesia menjadi bagian penting sejak APT pertama di tahun 1993, yang mana ada sembilan seniman Indonesia yang memamerkan karyanya. Bahkan, lebih dari 50 seniman kontemporer Indonesia telah terlibat di seri tiga tahunan APT dalam 25 tahun terakhir.
Selain seniman, para kurator, kritikus dan penasihat seni dari Indonesia seperti Jim Supangkat, Enin Supriytanto dan Ali Swastika turut terlibat dalam APT sejak pertama kali dimulai.
Tarun Nagesh, yang juga merupakan salah satu kurator pameran APT ke-9, mengagumi karya dari empat seniman Indonesia dan menuturkan bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki banyak kekayaan seni, dan karya-karya dari empat seniman Indonesia itu merupakan sebagian kecil dari keanekaragaman seni kontemporer Indonesia.
"Kami sangat beruntung dapat melibatkan banyak seniman Indonesia dalam diskusi, pertunjukan, dan program yang berkaitan dengan pameran dan juga berdialog dengan seniman Indonesia untuk pengembangan pameran ini," tuturnya.
Menurut dia, seni kontemporer di Indonesia benar-benar menarik, sangat kaya dan beragam, dan kekayaan seni itu tentu perlu dipertunjukkan untuk dikenali banyak orang lintas negara. Dia mengatakan karya dari empat seniman Indonesia yang dilibatkan dalam APT 9 baru menampilkan sedikit dari keanekaragaman dan kekayaan seni kontemporer Indonesia.
Tarun menuturkan seniman Zico Albaiquni adalah sosok yang benar-benar melihat sejarah seni dan meneliti perannya sendiri sebagai seniman dalam sejarah seni Indonesia dan sejarah seni internasional.
Dalam karyanya yang dipamerkan di pameran tiga tahunan itu, Zico menyatukan beberapa perspektif historis untuk memberikan kepada penikmat seni dan pengunjung terkait narasi tentang proses dan pendekatan melukis dari waktu ke waktu.
Dia melukis penonton ke dalam karya untuk menyelidiki hubungan antara penonton, subjek dan karya seni. Dia menyatukan kanvas berbentuk tidak teratur, dan menempatkan lukisannya di instalasi di antara objek studio atau dalam konteks yang tidak biasa.
Ada pula, Elia Nurvista merupakan seniman muda Indonesia yang karyanya berfokus pada produksi dan distribusi makanan, serta implikasi sosial dan sejarah makanan secara lebih luas.
Dalam pameran itu, patung gula karya Elia Nurvista adalah benda berwarna-warni, seperti permata, diproduksi dengan bantuan pengrajin lokal di Yogyakarta. Patung gula itu dipamerkan beserta lukisan dinding, dan menjelajahi beberapa sejarah rumit tentang gula termasuk kaitannya dengan eksploitasi global.
Menurut sang seniman, gula dan berlian memiliki penampilan dan narasi yang sama, mulai dari kuliner dan bentuknya hingga sejarah kerja, perbudakan, eksploitasi, dan ekstraksi material.
Handiwirman Saputra menampilkan karya patung abstrak yang fantastis dan unik, yang dinilai belum ada di tempat lain di dunia ini. Handiwirman menggabungkan bahan sintetis dan alami seperti resin, tekstil, baja, poliuretan, busa dan kertas. Karyanya bervariasi dari benda-benda kecil yang tergantung di dinding, hingga benda-benda berdiri bebas yang tingginya beberapa meter.
Sedangkan, Aditya Novali menggabungkan arsitektur dan desain konseptual dalam produksi karya yang kompleks. Tema perencanaan kota, konstruksi, dan bangunan muncul kembali di berbagai karyanya.
Novali menciptakan panel-panel bergerak untuk memberikan beberapa sudut pandang dan kombinasi, bukan hanya satu kanvas statis. Novali juga memasukkan beberapa elemen dinamis dan interaktif dalam bangunan apartemennya yang sangat rinci di The Wall: Asian (Un)Real Estate Project yang ditampilkan di galeri itu.
Karya ini memberikan komentar atas kurangnya perumahan terjangkau di wilayah perkotaan Indonesia bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
"Begitu banyak kekayaan seniman yang berbeda dan pendekatan yang berbeda pada pembuatan seni sekarang ini," ujarnya.
Pertukaran seni dan budaya
APT bagi pengunjung sendiri akan menjadi wadah untuk berinteraksi dengan budaya dari berbagai bangsa di wilayah Asia, Australia dan Pasifik serta melihat multikulturalisme serta sejarah yang disajikan dari karya-karya seniman.
APT juga menjadi wadah pendidikan, wacana dan pengembangan hubungan seni, diplomatik dan budaya di Asia Pasifik. "APT adalah salah satu pameran terbesar Australia, dan pameran yang berfokus pada seni kontemporer Asia, Australia, dan Pasifik," ujarnya.
Tarun menuturkan dalam proses pengumpulan koleksi seni itu, kerap pihaknya mengunjungi dan melihat langsung karya seniman, melakukan dialog dan diskusi serta saling memberikan pemikiran dalam mengembangkan pameran itu.
The Queensland Art Gallery and Gallery of Modern Art (QAGOMA) yang berdiri pada 1895 merupakan lembaga seni visual utama Queensland di Australia 1895.
Lebih dari tiga juta orang telah mengunjungi pameran sejak tahun pertama, dan pameran APT gratis untuk umum. Bahkan lebih dari 600,000 orang hadir pada APT ke-8 pada 2015.
Baca juga: Seniman Indonesia pamerkan karyanya di Australia
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019