Jika pendidikan dan pelatihan yang diberikan salah, termasuk penempatannya, akan menjadi masalah. Tapi jika proses perekrutan benar dan sesuai aturan, tentunya dengan kompetensi terjamin,merupakan kunci utama perlindungan PMI
Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki) Dewan Pimpinan Daerah Jawa Timur menyatakan kompetensi profesi pada bidang masing-masing, menjadi salah satu kunci perlindungan para Pekerja Migran Indoensia di luar negeri.
Ketua Aspataki DPD Jawa Timur Zainur Rahmad di , di Kota Malang, Senin, Senin mengatakan jika pendidikan, pelatihan, dan penempatan Pekerja Migran Indonesia tidak ideal, akan berdampak terhadap kompetensi yang dimiliki para pekerja tersebut. Hal itu, bisa menimbulkan masalah di negara tujuan.
"Jika pendidikan dan pelatihan yang diberikan salah, termasuk penempatannya juga akan menjadi masalah. Tapi jika proses perekrutan benar dan sesuai aturan, tentunya dengan kompetensi terjamin, merupakan kunci utama perlindungan Pekerja Migran Indonesia," kata Zainur
Zainur menjelaskan, memang proses untuk menjadi pekerja migran di negara lain membutuhkan proses yang cukup panjang. Hal tersebut, bertujuan untuk memberikan kompetensi masing-masing pekerja, supaya sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa di negara tujuan.
Menurut Zainur, jika calon pekerja migran yang akan menjadi pengasuh bayi di negara tujuan, maka akan diberikan pelatihan terkait bidang tersebut, supaya tidak muncul masalah saat bekerja. Namun, jika seandainya terjadi masalah, para pekerja tersebut akan mengetahui hak-hak yang bisa diminta kepada penyalur tenaga kerja.
"Saat terjadi masalah, para pekerja itu bisa melapor kepada perwakilan perusahaan yang ada di negara tujuan, namun jika mereka berangkat secara ilegal, mereka tidak akan berdaya," kata Zainur.
Salah satu permasalahan yang kerap muncul di negara pengguna jasa tenaga kerja Indonesia, lanjut Zainur, selalu melibatkan tenaga kerja yang berangkat tidak sesuai prosedur. Tingginya tenaga kerja Indonesia yang menjadi pekerja nonprosedural tersebut, disebabkan keinginan untuk bisa bekerja secara instan.
Jika mengikuti prosedur yang ada, sebagai contoh adalah calon tenaga kerja yang akan bekerja di Hong Kong atau Taiwan, membutuhkan waktu pelatihan selama 60 hari. Sementara untuk tujuan Singapura dan Malaysia, membutuhkan waktu lebih singkat yakni 40 hari.
"Pekerja ingin cepat berangkat, itu yang menjadi masalah, sehingga banyak tenaga kerja yang bekerja di luar negeri secara ilegal," kata Zainur.
Beberapa waktu lalu, salah satu kasus yang muncul dari Kota Malang adalah, adanya pekerja migran yang selama 12 tahun bekerja di Amman, Yordania, tidak menerima gaji. Pekerja migran tersebut, masuk ke Yordania tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan.
Sebagai catatan, Amman, Yordania tersebut bukan merupakan salah satu negara tujuan penempatan tenaga kerja migran Indonesia. Pada akhirnya, pihak Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) bersama KBRI Amman Yordania melakukan perlindungan dan pemulangan tenaga kerja tersebut.
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019