Komisi Perlindungan Anak Indonesia terus menyerap masukan batas minimal usia pernikahan untuk diajukan dalam revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Kami sedang menjaring soal usia minimal pernikahan yang tepat
"Kami sedang menjaring soal usia minimal pernikahan yang tepat," kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPA)I Susanto di Jakarta, Selasa.
Susanto mengatakan UU Perkawinan yang ada saat ini produk tahun 1974. Pada zaman itu, regulasi itu tergolong maju dan sesuai konteks Indonesia di waktu tersebut.
Seiring berjalannya waktu, terdapat kebutuhan revisi usia dengan salah satu pertimbangan adalah anak yang terlalu muda menikah bisa menemui persoalan karena belum matang secara fisik dan mental.
Dia mengatakan usulan batas minimal usia pernikahan harus dikaji seksama dengan menyerap masukan dari berbagai kalangan seperti agamawan, akademisi, tokoh masyarakat, penegak hukum dan pihak lainnya yang terkait.
"Karena tujuan pernikahan membentuk keluarga sakinah, mawadah wa rahmah, maka tidak bisa dilepas dari perspektif keagamaan. Kami terima masukan dari kalangan agama. Masukan juga dari kalangan lainnya yang menjadi bagian untuk telaah," kata dia.
UU Perkawinan menyebut seseorang boleh menikah di usia 16 tahun untuk perempuan dan laki-laki 19 tahun dengan izin orang tua.
Namun kini, kata dia, dengan dinamisnya kehidupan bermasyarakat memerlukan perbaikan UU Perkawinan sesuai konteks norma hukum terkini.
Saat ini, Indonesia masih menempati peringkat tujuh negara tertinggi di dunia dan kedua di Asia untuk soal perkawinan usia anak.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 terkait Judicial Review Pasal 7 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan angin segar bagi perbaikan norma hukum untuk mencegah perkawinan anak.
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati mengatakan meski demikian, pencegahan perkawinan usia anak tidak hanya cukup dilakukan dengan perubahan aturan hukum. Upaya kultural melalui masyarakat dan kerja sama seluruh Kementerian Lembaga mencegah perkawinan usia anak harus terus diupayakan.
"Hal ini karena diperkirakan kurang dari lima persen perkawinan anak yang dimintakan dispensasi ke pengadilan. Artinya 95 persen lainnya diperkirakan menempuh jalur lain, seperti menikah siri, tidak mencatatkan perkawinan atau melakukan usaha-usaha seperti mengibah umur di dokumen resmi," kata dia.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019