• Beranda
  • Berita
  • "E-sport" masuk kurikulum, terobosan atau beban?

"E-sport" masuk kurikulum, terobosan atau beban?

12 Maret 2019 18:02 WIB
"E-sport" masuk kurikulum, terobosan atau beban?
Siswa kelas X Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 5 Depok, Andrew Danis (kiri) dan Ihsan Sakti (kanan) menunjukkan layar handphone yang menampilkan permainan Player Unknown's Battlegrounds (PUBG), di SMAN 5 Depok, Sawangan, Jawa Barat, Jumat (8/3/2019). (ANTARA/Fathur Rochman)
"Kalau sudah akhir pekan, bisa sampai jam 02.00 WIB mainnya," kata Ihsan lalu tertawa, menceritakan kegemarannya bermain gim seluler "sejuta umat", Player Unknown's Battlegrounds (PUBG).

Ihsan dalam sehari bisa memainkan gim seluler itu hingga lima jam. Keseruan beradu strategi melawan musuh, ataupun "berperang" bersama teman-teman satu tim, membuat dia sering lupa waktu.

Namun, remaja yang pernah mengikuti olimpiade matematika kala duduk di bangku sekolah menengah pertama itu mengaku hanya bermain gim seluler saat bosan atau tidak ada kegiatan di luar sekolah dan belajar.

"Sehari-hari tetap main sama teman-teman, main sepak bola. Tapi kalau lagi bingung mau ngapain, baru deh main gim. Jadi enggak sampai kecanduan gitu, tetap belajar, tetap bisa kontrol diri juga," kata Ihsan, yang kini duduk di Kelas X Sekolah Menengah Atas Negeri 5, Depok, Jawa Barat.

Tak hanya menyalurkan hobi, Ihsan juga bisa mendapatkan uang dari kegemarannya bermain gim seluler. Belum lama ini, dia meraih peringkat ketiga dalam kategori "Top Kill" dalam kompetisi PUBG di sekolah dan memperoleh hadiah Rp500 ribu.

"Itu lumayan, sih. Kalau uangnya biasanya ditabung, tapi kadang dipakai buat beli item gim gitu," kata dia.

Ihsan saat ini mengaku masih mengutamakan pendidikan ketimbang menjadi seorang pemain gim selular profesional.

Namun, dia tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti jejak Muhammmad Rizky "inYourdreaM" Anugrah, Kevin "xccurate" Susanto, ataupun Hansel "BnTeT" Ferdinand menjadi pemain e-sport profesional Tanah Air dengan pendapatan sampai ratusan juta rupiah.

"Tapi kalau sekarang masih mau fokus belajar dulu. Main gim buat refreshing aja, pas cuma hari libur atau lagi enggak ada kegiatan," ucap Ihsan.

Selain Ihsan, tidak sedikit remaja terkena "demam" gim e-sport (olahraga elektronik) seperti Mobile Legends, Arena of Valor, PUBG, Clash Royale, Hearthstone, StarCraft 2, PES 2018, atau Leauge of Legends (LoL).

Mereka bisa berjam-jam memainkan gim itu, kadang sampai mengesampingkan hal-hal penting seperti makan, bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, atau belajar demi menyalurkan hobi sekaligus berupaya meraih peringkat terbaik dalam gim.



E-sport masuk kurikulum

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi merespons perkembangan e-sport di kalangan generasi milenial dengan melontarkan gagasan memasukkan e-sport dalam kurikulum.

Dia menyebut e-sport sebagai olahraga yang dapat melatih fisik maupun mental pemainnya karena menuntut konsentrasi tinggi dan durasinya bisa sampai berjam-jam.

Gagasan politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu menimbulkan pro dan kontra. Ada yang menyebutnya sebagai sebuah terobosan dalam dunia pendidikan, ada pula yang menilai wacana itu hanya akan membebani kurikulum yang sudah diterapkan.

Sebagai pihak yang akan terdampak langsung apabila gagasan itu terealisasi, para siswa menyambutnya dengan antusias. Siswa SMAN 5 Depok, Andrew Danis, mengatakan e-sport bisa membawa banyak dampak positif pada siswa, misalnya melatih konsentrasi dan kerja sama dan mengasah kepedulian.

"Di gim e-sport, kita diajarkan buat belajar solid, harus peduli sama rekan satu tim yang lain. Kita juga dilatih untuk bisa lebih kontrol diri, enggak gampang emosi," ucap siswa Kelas X tersebut.

Andrew berharap pemerintah segera menindaklanjuti gagasan itu agar siswa penggemar e-sport punya lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dalam permainan virtual tersebut.

Sementara Rakha Fadhilah, siswa SMAN 9 Tangerang, berpendapat memasukkan e-sport dalam kurikulum juga akan bisa menekan perilaku negatif siswa seperti tawuran ataupun menggunakan obat-obatan terlarang.

"Jadi yang tadinya suka ngumpul-ngumpul enggak jelas buat tawuran, sekarang bisa lebih terarah gitu kan, mereka beralih jadi bermain gim. Itu bagus sih, jadi lebih positif," kata Rakha, yang saat ini duduk di Kelas XI.

Di tataran orangtua siswa, perbedaan pandangan terjadi. Keken Sonyrisca, orangtua Brayy Muhammad Amir, pelajar kelas IX Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu As Su'adda, Bekasi, mengaku setuju e-sport masuk kurikulum.

Menurut dia, memasukkan e-sport dalam kurikulum dapat mengasah keterampilan siswa, tidak hanya menjadi pemain gim berbakat, tetapi juga bisa membuat membuat aplikasi permainan gim seluler.

"Jadi bukan untuk jadi pemain gim saja, tapi jadi pembuat gim juga. Tidak hanya jadi konsumen tapi produsen juga," kata Keken, perempuan yang bekerja di bagian pemasaran satu perusahaan swasta internasional.

Berbeda dengan Keken, orangtua Rakha, Masrial, tidak sepakat e-sport masuk dalam kurikulum. Dia berpendapat permainan seluler semacam itu justru dapat membuat siswa melupakan hal-hal penting dalam pendidikan, seperti bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan juga beribadah.

"Kalau cuma sebagai penunjang belajar saja, sih, enggak apa-apa, tapi bukan sebagai kurikulum," kata dia.


Tentangan Akademisi

Pemerhati pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema menilai gagasan memasukkan e-sport dalam kurikulum tidak realistis karena dapat mengacaukan kurikulum yang telah dibuat dan diterapkan.

"Kurikulum itu kalau mau ditambahkan materi pembelajaran, itu ada aturannya, jadi artinya kita tidak bisa setiap kali ada kebutuhan, kepentingan, lalu kemudian semua akan dimasukkan dalam kurikulum," ujar Doni, pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting, saat ditemui di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (5/3).

Bila pemerintah tetap ingin memasukkan e-sport dalam pendidikan di sekolah, dia menyarankan agar permainan atau olahraga tersebut masuk dalam kegiatan ekstrakurikuler saja.

"Anak-anak kita juga perlu memiliki pengalaman bermain melalui permainan yang sifatnya digital, namun saya pribadi melihat ini seharusnya menjadi semacam pilihan saja, karena tidak setiap orang itu bisa atau menyukai permainan elektronik seperti ini," ucap dia.

Guru SMAN 5 Depok Aas Sutisna juga menilai gagasan memasukkan e-sport dalam kurikulum kurang tepat, karena kurikulum yang digunakan saat ini sudah padat dengan mata pelajaran dan program pendidikan.

Menurut pria yang sehari-hari mengajar Bahasa Sunda itu, pemerintah lebih baik memasukkan e-sport dalam kegiatan ekstrakurikuler ataupun perlombaan-perlombaan yang digelar berkelanjutan.

"E-sport positifnya itu mengajarkan anak-anak otaknya itu tidak berhenti untuk berpikir, tapi ini harus tetap dibatasi, karena kalau tidak dibatasi anak-anak itu cenderung ke handphone terus," ujar Aas, yang juga pembina Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

Psikolog anak dan remaja Ratih Zulhaqqi mengatakan bermain e-sport dalam waktu lama dapat menyebabkan kecanduan pada anak. Dia menyebut dampak kecanduan yang timbul bisa menyerupai ketagihan narkoba.

"Mungkin efeknya mirip narkoba ketika mereka sudah menutup tontonan (gim), tetapi mereka tetap memikirkan itu, sehingga akhirnya mereka selalu mengakses ke situ, sampai melupakan apa yang harus mereka lakukan," ujar Ratih kepada Antara di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Jawa Barat, Rabu (6/3).

Ratih mengatakan tingkat kecanduan pada level seperti itu sudah tergolong berbahaya, terutama bagi anak-anak dan remaja, karena dapat memicu emosi yang tidak stabil serta mempengaruhi nilai akademik anak di sekolah.



Tak perlu gaduh

Ketua Umum Indonesia e-Sport Association (IeSPA) Eddy Lim mengatakan masyarakat tidak perlu terlalu gaduh menyikapi gagasan Menteri Pemuda dan Olahraga memasukkan e-sport ke kurikulum.

Wacana tersebut, menurut dia, mestinya dilihat sebagai upaya positif untuk mendukung pengembangan pendidikan siswa.

"Yang pasti itu bukan mengajak orang untuk bermain gim. Kalau ajak orang bermain gim, tidak perlu dimasukkan dalam kurikulum, kita larang orang juga akan main dengan sendirinya. Jadi kalau dimasukkan dalam kurikulum itu lebih kepada pembentukan sumber daya manusia untuk industri e-sport ke depannya," kata Eddy di Jakarta, Senin (11/3).

Eddy melihat gagasan tersebut sebagai upaya pemerintah untuk membangun ekosistem industri e-sport di Indonesia.

"Bicara e-sport tidak cuma pemainnya saja, tapi juga industrinya, kita bicara tentang sport entertaiment dunia digital saat ini," katanya.

"Kalau diajarkan dalam kurikulum itu berupa bisnis atau ekonomi, misal menjadi event organizer atau programmer membuat gim, itu kenapa tidak boleh? Dia bisa diajarkan lewat bisnis atau ekonomi," tambah dia.

Eddy mengatakan di dunia internasional pun wacana memasukkan e-sport dalam kurikulum masih dalam proses penggodokan. Semua negara, kata dia, pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak.

"Semua orang di dunia punya concern yang sama, anak-anak tidak boleh lama-lama main gim," kata Eddy.*


Baca juga: Kominfo bantah blokir Mobile Legends akhir Januari

Baca juga: Tim Indonesia bersiap ke grand final Lenovo Legion of Champions di Bangkok



 

Pewarta: Virna P Setyorini/Fathur Rochman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019