“Kantong plastik ramah lingkungan atau kantong plastik organik ini sebenarnya sudah diproduksi massal. Namun, harganya memang masih jauh lebih mahal dibanding kantong plastik yang biasa digunakan saat berbelanja,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta Suyana di Yogyakarta, Rabu (13/3).
Menurut dia, masyarakat saat ini masih akrab dengan kantong plastik yang benar-benar terbuat dari bahan plastik dan sulit diurai namun memiliki kekuatan yang baik.
“Ada juga kantong plastik yang mudah hancur. Biasanya digunakan oleh supermarket-supermarket besar. Namun, ada yang menyebut jika bahan yang digunakan untuk kantong plastik jenis ini juga menimbulkan dampak negatif ke lingkungan,” kata Suyana.
Dampak negatif tersebut, lanjut Suyana, adalah munculnya mikroplastik akibat bahan plastik yang mudah terurai. “Mikroplastik ini selain berdampak buruk bagi lingkungan juga bisa masuk ke rantai makanan dan akhirya dikonsumsi oleh manusia,” katanya.
Sedangkan untuk kantong plastik ramah lingkungan atau organik yang terbuat dari ketela, memiliki kelebihan karena mudah terurai dan tidak menimbulkan pencemaran. Bahkan jika dilarutkan dengan air, maka air tersebut bisa saja dikonsumsi.
Namun demikian, kantong dari bahan organik tersebut juga memiliki kelemahan karena tidak tahan panas dan akan hilang jika terkena air. “Jadi, kantong organik ini tidak bisa digunakan untuk membawa bahan yang cair atau basah dan tidak bisa digunakan untuk membawa bahan yang panas. Hanya bisa digunakan untuk membawa bahan-bahan kering saja,” katanya.
DLH Kota Yogyakarta, lanjut Suyana, akan mencoba berkoordinasi dengan manajemen supermarket untuk tidak menyediakan kantong plastik dan sebagai alternatifnya menggunakan kotak kardus, kantong belanja atau kantong plastik organik.
Selain mengampanyekan pengurangan penggunaan kantong plastik, DLH Kota Yogyakarta juga akan memperkenalkan sedotan dari bahan bambu yang lebih ramah lingkungan dibanding sedotan plastik.
Sedangkan untuk pengolahan sampah plastik, lanjut Suyana, sudah dilakukan melalui kelompok-kelompok pengolah sampah di masyarakat yang biasanya tergabung dalam bank sampah.
“Saya kira, kreativitas kelompok pengolah sampah untuk menjadikan sampah plastik menjadi kerajinan sudah cukup baik. Kreativitas yang mereka miliki tidak kurang. Tetapi, yang masih menjadi masalah adalah pemasaran hasil kerajinan tersebut,” katanya.
Hasil kerajinan dari olahan sampah sudah seringkali diikutkan dalam berbagai pameran, namun banyak pengunjung yang sebatas mengagumi saja tanpa membelinya. “Mungkin karena harga yang ditawarkan masih terlalu mahal. Ini yang sedang kami cari bagaimana caranya agar produk kreasi dari sampah ini memperoleh pasar yang baik,” katanya. ***1***
Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019