..kalau diberi kesempatan dengan harga gas yang lebih berdaya saing, saya yakin kita bisa menggenjot ekspor.
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) memproyeksikan ekspor bisa naik sekitar 30 persen jika harga gas untuk bahan bakar industri tersebut bisa turun.
"Kalau itu (harga gas turun) bisa terealisasi, kami yakin ekspor bisa tembus di atas 30 persen. Kalau perkembangan saat ini, mungkin (ekspor) masih maksimal 10 persen dari total kapasitas," kata Ketua Umum Asaki Edy Suyanto di sela Pameran Keramika 2019 di Jakarta, Kamis.
Edy menuturkan harga gas memiliki porsi sekitar 30-35 persen dalam komponen biaya produksi. Ada pun besarnya Oleh karena itu, jika harga bisa ditekan, maka ongkos produksi bisa lebih efisien.
"Dari segi teknologi, bahan baku yang tersedia hingga kapasitas produksi kita lebih besar. Jadi kita secara skala ekonomi lebih bagus," katanya.
Dengan segala kelebihan itu, Edy meyakini pasar keramik di Malaysia, Singapura, Myanmar, Laos dan Filipina akan bisa dengan mudah Indonesia dapatkan.
Ia melanjutkan, untuk bisa lebih berdaya saing, komponen harga gas menjadi kunci. Pasalnya, jika dibandingkan dengan Malaysia yang harga gasnya sekitar 7,5 dolar AS per mmbtu, harga gas lokal berada di kisaran 7,9-9,3 dolar AS per mmbtu tergantung daerah tempat produksi.
"Jadi kalau diberi kesempatan dengan harga gas yang lebih berdaya saing, saya yakin kita bisa menggenjot ekspor," tuturnya.
Lebih lanjut, Edy mengapresiasi kebijakan safeguard yang diberikan pemerintah untuk melindungi industri tersebut dari gempuran impor.
Menurut Edy, kebijakan yang diberlakukan mulai Oktober 2018 hingga 2021 itu telah menumbuhkan optimisme baru kepada para produsen keramik.
"Dukungan safeguard ini kami syukuri. Ini merupakan dukungan moral luar biasa sehingga muncul optimisme baru dari industri," pungkasnya.
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019