Para aktivis di Papua mengaku prihatin dengan persoalan yang terjadi di berbagai kampung dan distrik di kabupaten Nduga dalam empat bulan terakhir ini.Kami juga menyampaikan kesedihan bahwa dampak dari peristiwa Nduga, masyarakat sebagai umat Tuhan yang harus beribadah dengan tenang sudah tidak bisa lagi melaksanakan ibadah mingguan, jemaat tidak ada dan gereja kosong. Warga semua lari dan bersembu
Keprihatinan itu diungkapkan dalam jumpa pers di sekretariat Aliansi Demokrasi Papua (AlDP) di Padang Bulan, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Kamis.
"Kami sangat prihatin dengan kondisi Nduga saat ini. Banyak aspek yang mulai terbengkalai," kata Theo Hesegem, Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua.
Theo didampingi Luis Madai dari perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP), Raga Kogeya dari anggota tim relawan kemanusiaan untuk Nduga, dan Latifah Anum Siregar direktris AlDP, mengatakan peristiwa kekerasan yang bermula dengan penembakan terhadap para pekerja jalan dan jembatan transPapua dari PT Istaka Karya ternyata berbuntut panjang.
Aksi pembantaian yang dilakukan oleh kelompok kriminal separatis bersenjata (kksb) pimpinan Egianus Kogoya yang merupakan bawahan dari Purom Okiman Wenda itu telah menewaskan 17 pekerja PT Istaka Karya, empat lainnya dikabarkan hilang dan menewaskan satu personel TNI.
Yang berujung pada aksi pengejaran oleh aparat gabungan TNI dan Polri terhadap kksb sehingga membuat warga menjadi takut dan mengungsi.
"Kami juga menyampaikan kesedihan bahwa dampak dari peristiwa Nduga, masyarakat sebagai umat Tuhan yang harus beribadah dengan tenang sudah tidak bisa lagi melaksanakan ibadah minggu, jemaat tidak ada dan gereja kosong. Warga semua lari dan bersembunyi, bahkan mengungsi," kata Theo.
Hal ini juga membuat aktivitas belajar mengajar dan pelayanan kesehatan di sejumlah kampung dan distrik kabupaten Nduga tidak berjalan maksimal, bahkan bisa dikatakan lumpuh total karena warga pada mengungsi, menyelamatkan diri karena pihak kksb dan aparat TNI-Polri saling tembak.
"Anak-anak Nduga yang berstatus pelajar kini mengungsi ke Wamena, bahkan ibu-ibu hamil ada yang melahirkan di hutan-hutan, pelayanan kesehatan juga tidak dapat. Ini patut disayangkan," ujar Theo.
Sedangkan, Raga Kogeya mengaku bahwa sekitar 2.000 lebih pengungsi asal Nduga telah tinggal di sanak keluar di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Mereka tinggal dalam satu 'honai' atau rumah adat bisa berjumlah hingga 30-an orang dengan makanan seadanya.
"600 orang diantaranya merupakan anak-anak sekolah. 200 orang dari antara 600 lebih itu adalah pelajar yang akan mengikuti ujian nasional(un), tetapi mereka tidak mau ujian di Nduga, mereka mau di Wamena, kabupaten Jayawijaya. karena mereka masih trauma," kata Raga.
Sementara itu, Latifah Anum Siregar berpendapat bahwa persoalan Nduga sudah menjadi bencana atau krisis kemanusiaan.
"Ini sudah menjadi krisis kemanusiaan. Karena ribuan orang sudah mengungsi tetapi tidak dilihat seperti itu. Pemerintah harus segera menanganinya, jangan dibiarkan hal ini terus begini," katanya.
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Alex Sariwating
Copyright © ANTARA 2019