"Perubahan iklim lebih buruk dibandingkan dengan Voldermort," demikian salah satu tulisan tangan seorang pelajar. Ia merujuk kepada penyihir jahat di dalam film terkenal Harry Potter.
"Saya bertaruh dinosaurus mengira mereka juga punya waktu," demikian tulisan di spanduk lain, saat pelajar dan orang tua murid berpawai di gedung Parlemen di Ibu Kota Selandia Baru, Wellington.
Protes pelajar diselenggarakan di 30 kota besar dan kecil di seluruh Selandia Baru dan direncanakan di berbicara ibu kota negara di seluruh Australia, Eropa serta Amerika Serikat pada Jumat.
Pawai tersebut adalah bagian dari pemogokan pelajar di seluruh dunia, yang dimulai pada Agustus 2018 --ketika pegiat iklim Swedia yang berusia 16 tahun Greta Thunberg memulai protesnya di luar gedung Parlemen pada hari sekolah. Anggota Parlemen Norwegia telah mencalonkan Thurberg untuk memperoleh Hadiah Noberl Perdamaian.
"Pemerintah hanya perlu mengubah beberapa hal, yaitu mengapa jika kami mogok pada hari sekolah maka mereka akan memperhatikan dan mereka mungkin akhirnya melakukan sesuatu," kata pelajar yang berusia 14 tahun Inese, sebagaimana dikutip Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat pagi. Ia tak ingin nama keluarganya disebutkan.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang telah menjanjikan 100 juta dolar Selandia Baru (68 juta dolar AS) untuk mengurangi buangan gas rumah kaca, mendukung pemogokan pelajar, dan mengatakan remaja tak boleh menunggu sampai mereka cukup tua untuk memberi suara.
Dukungan Ardern buat pelajar bertolak-belakang dengan tindakan politisi di Australia dan Inggris --yang telah mencela mereka karena meninggalkan kelas.
"Untuk melakukan tindakan mengenai masalah yang menurut mereka penting, mereka mesti melakukannya setelah sekolah atau pada akhir pekan," kata Menteri Pendidikan Australia Dan Tehan kepada wartawan mengenai protes di Melbourne.
Wali murid di Wellington, Alex --yang berpawai di samping putranya yang berusia 11 tahun, tidak sependapat. "Jauh lebih baik pada hari pendidikan ... ini adalah masalah terbesar pada masa kita," katanya.
Banyak ilmuwan mengatakan pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara mengeluarkan gas rumah kaca, yang memerangkap panas dan meningkatkan temperatur global, sehingga mengakibatkan banjir, kemarau, gelombang panas dan menaikkan permukaan air laut.
Dalam Konferensi Iklim di Paris pada 2015, banyak negara berjanji akan bekerja untuk membatasi kenaikan dua derajat Celsius, langkah yang akan memerlukan pengurangan radikal penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil.
Pewarta: Chaidar Abdullah
Editor: Eliswan Azly
Copyright © ANTARA 2019