"Masyarakat harus memahami bahwa 'hoax' berbahaya bagi masa depan bangsa. Masyarakat juga harus memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih mana berita yang benar dan yang keliru," kata Santi melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Mafindo, presentase kabar bohong di media sosial sepanjang Juli hingga Desember 2018 adalah Facebook 47,83 persen, WhatsApp 10,87 persen dan Twitter 8,90 persen.
Sedangkan sepanjang Januari 2019, kabar bohong di Facebook 49,54 persen, Twitter 12,84 persen dan WhatsApp 11,92 persen.
"Bentuk 'hoax' paling banyak pada semester II/2018 adalah gabungan foto-narasi 45,25 persen, narasi saja 30,63 persen dan gabungan video-narasi 14,22 persen," tuturnya.
Namun, sepanjang Januari 2019 terjadi perubahan komposisi, menjadi 34,86 persen narasi saja, gabungan foto-narasi 28,44 persen dan gabungan video-narasi 17,43 persen.
"Perubahan komposisi itu menunjukkan 'hoax' yang beredar di masyarakat semakin canggih," katanya.
Karena itu, Santi mengatakan pembelajaran melek digital atau literasi digital harus dilakukan dengan melibatkan multisektor sebagai bagian untuk meningkatkan ketahanan informasi bangsa.
"Ini tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja, tetapi menjadi panggilan bagi siapa saja yang tidak ingin negeri ini larut dalam bencana informasi akibat 'hoax," katanya.
Mafindo mencatat sepanjang 2018 hingga Januari 2019 terjadi 997 kabar bohong dan 488 diantaranya, atau 49,94 persen, bertema politik.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019