• Beranda
  • Berita
  • Warga Thailand berbondong-bondong ikuti pemilu pertama sejak kudeta 2014

Warga Thailand berbondong-bondong ikuti pemilu pertama sejak kudeta 2014

17 Maret 2019 18:24 WIB
Warga Thailand berbondong-bondong ikuti pemilu pertama sejak kudeta 2014
Masyarakat mengantre untuk memberikan suara lebih dini di sebuah tempat pemungutan suara di Bangkok, Thailand, 17/3/2019, pada pemilihan umum Thailand mendatang. (REUTERS/SOE ZEYA TUN)
Banyak warga Thailand mengantre pada Minggu, sebagian selama beberapa jam, untuk memberikan suara lebih dini pada pemilihan parlemen yang dijadwalkan pada 24 Maret, yang merupakan pemilu pertama di negara itu setelah kudeta militer 2014.

"Senang rasanya bisa menggunakan hak demokrasi kami," kata Adulwit Sinthusiri (29), salah seorang dari 2,6 juta orang Thailand yang mendaftar untuk memberikan suara dini, yang berlangsung sehari saja.

Sesuai aturan pemilu, mereka yang terdaftar dalam pemungutan suara pada Minggu tetapi tidak menggunakannya akan kehilangan peluang untuk ikut serta dalam pemilu.

Ada 52 juta orang Thailand berumur di atas 18 tahun yang dapat memberikan suara.

Pemilu kali ini  secara luas merupakan persaingan partai junta pimpinan Prayuth Chan-ocha yang memimpin kudeta 2014 saat dia menjadi panglima tentara, melawan partai populer yang setia pada perdana menteri terdepak Thaksin Shinawatra serta partai-partai yang menentang dominasi militer di dalam pemerintahan.

Sejumlah partai baru yang kecil dan menengah kemungkinan akan memegang kunci untuk membentuk pemerintahan koalisi setelah pemungutan suara, namun partai Prayuth punya keuntungan bawaan karena junta memiliki keistimewaan untuk menentukan siapa saja yang akan menempati  250 kursi Senat. Dengan kursi sebanyak itu, partai tersebut sudah mulai unggul dalam mengumpulkan suara mayoritas di parlemen untuk memilik perdana menteri.    

Pemilihan dilakukan untuk memperebutkan 500 kursi wakil rakyat.

Adulwit mengatakan dia tidak terkesan dengan kinerja pemerintah selama lima tahun terakhir.  Ia berkeyakinan bahwa partai-partai baru seperti Partai Melangkah Maju, sebuah kelompok antijunta pimpinan konglomerat berusia 40 tahun, Thanathorn Juangroongruangkit, bisa membuat perbedaan.

Banyak warga Thailand menghendaki Prayuth, yang menjadi perdana menteri setelah kudeta kemudian pensiun dari militer, untuk tetap menjabat, sehingga secara efektif membentuk demokrasi yang masih dikuasai militer. 

"Prayuth adalah orang baik... orangnya tidak berbelit-belit dan ia melakukan hal-hal baik untuk negara," kata Nawarat Phuyungwattana (63) dari provinsi Narathiwat di selatan, sebagaimana diberitakan oleh Reuters.

Partai-partai pro-Thaksin berkampanye mengenai kebijakan-kebijakan yang mereka sebut akan meningkatkan ekonomi serta dapat menaikkan harga beras dan karet.

Partai yang berafiliasi dengan Thaksin, mantan perdana menteri yang sedang mengasingkan diri sendiri setelah dihukum atas dakwaan korupsi, telah memenangkan pemilihan sejak 2001 dengan kebijakan-kebijakan populis, seperti skema kesehatan secara umum.

Militer menggulingkan pemerintahan pro-Thaksin dalam kudeta pada 2006 serta kemudian pada 2014, yaitu ketika pemerintahan sedang dipimpin oleh saudara Thaksin, Yingluck Shinawatra.

Sumber: Reuters

Baca juga: Presiden ajak Thailand kerja sama antisipasi penurunan harga karet
Baca juga: Indonesia-Thailand peringati 70 tahun hubungan diplomatik tahun depan


 

Pewarta: Maria Dian A
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2019