"Analisis awal saya sebagai pengamat kebijakan publik, jadi kalau kita lihat dari praktiknya sebenarnya ini praktik yang sangat tradisional," kata Vishnu dalam acara Sarasehan Pustaka "Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014" di gedung KPK, Jakarta, Senin.
Praktik tradisional itu, kata dia, pertama ada unsur penyalahgunaan wewenang, ada suap yang dilakukan pejabat negara, dan ada unsur kerugian negara.
Ia pun mencontohkan soal kasus era demokrasi parlementer saat kepemimpinan PM Ali Sastroamidjojo dengan adanya istilah "kredit murah pengusaha Ali Baba".
"Di mana pada akhirnya izin bisnis yang dimudahkan terutama kepada pengusaha Melayu pada waktu itu ternyata dijual kembali pada pengusaha-pengusaha yang sudah kaya yang kebanyakan adalah keturunan Tionghoa, makanya dibilang ada skema "Ali Baba", ucap Vishnu.
Kemudian, ia juga mencontohkan soal kasus korupsi yang menjerat mantan Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo yang menerima suap dalam pengurusan visa.
"Kalau kita lihat di orde baru juga sebenarnya pola ini juga sama, misalnya seperti mega korupsi atau "miss management" yang terjadi dalam pengelolaan Pertamina dan Bulog," ucap Vishnu.
Dalam kasus Rommy tersebut, ia pun menyimpulkan bahwa peranan partai politik semakin besar pada era reformasi ini.
"Bahkan komisioner KPK sendiri harus atas persetujuan partai politik melalui DPR karena kan seperti yang kita ketahui calonnya ada 10 dan pada akhirnya harus dipilih lima melalui DPR," ujar Vishnu.
Untuk diketahui, KPK telah menetapkan tiga tersangka terkait suap pengisian jabatan di lingkungan Kementerian Agama RI Tahun 2018-2019.
Diduga sebagai penerima anggota DPR periode 2014-2019 Muhammad Romahurmuziy (RMY).
Sedangkan diduga sebagai pemberi, yaitu Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi (MFQ) dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin (HRS).
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019