Suku Tengger diyakini merupakan keturunan langsung dari Kerajaan Majapahit. Nama Tengger itu, jika dianalisis dari mitos masyarakat Tengger, merupakan nama dari sepasang suami istri, yakni Rara Anteng dan Joko Seger, yang pertama kali menghuni wilayah tersebut.
Menurut legenda, nama Tengger sendiri merupakan singkatan dari kata "Teng" dari asal kata "anteng", yang mengandung arti sifatnya yang tidak banyak tingkah, dan tidak mudah terusik, dan kata "Ger" yang berasal dari kata Seger.
Kehidupan masyarakat Suku Tengger yang mayoritas adalah petani, dilalui dalam kesederhanaan. Meskipun perubahan zaman tidak dapat dibendung di segala lini, masyarakat Suku Tengger tetap menjalankan rutinitas sebagai petani dan mengelola potensi wisata yang ada.
Meskipun hidup secara sederhana, masyarakat Suku Tengger, khususnya yang ada di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, tetap melek berbagai informasi dari luar, termasuk agenda nasional, Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pada 17 April 2019. Momen itu dinanti secara antusias oleh masyarakat Suku Tengger.
Bagi Suku Tengger, datangnya pesta demokrasi tiap lima tahun sekali tersebut tidak diwarnai dengan hiruk-pikuk untuk mendukung calon-calon eksekutif maupun legislatif tertentu.
Bagi masyarakat Tengger, untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan kerja nyata, bukan sekadar janji-janji manis saat kampanye.
Baca juga: Filosofi masyarakat Tengger untuk Pemilu
Sesepuh atau Ki Petinggi Tengger Supoyo, pada 2001 hingga 2013 yang menjabat sebagai Kepala Desa Ngadisari, selama dua periode bercerita dirinya tidak pernah memiliki keinginan untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin di desa tersebut.
Namun, masyarakat Tengger, khususnya pada 2001, mendorong Supoyo untuk menjabat sebagai kepala desa. Alhasil, pada tahun tersebut, dirinya maju sebagai calon tunggal Kepala Desa Ngadisari. Saat itu, Supoyo mengantongi perolehan suara sebanyak 99 persen.
"Jadi, hanya kursi kosong dengan saya. Demokrasinya tetap digelar, saya duduk di panggung, dipilih oleh rakyat. Saat itu saya mendapat 99 persen suara," ujar Supoyo, kepada Antara.
Baca juga: Pemilu; kalau di luar panas, Osing adem ayem
Suku Tengger dalam Demokrasi
Kepala Desa, bagi masyarakat Tengger, merupakan panutan dan figur tokoh desa. Namun, salah satu kunci untuk menjadi pemimpin adalah, sikap legowo sebagai seorang negarawan. Dengan begitu, akan terbangun komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemerintah desa.
Salah seorang warga Desa Ngadisari, Ki Wayan Cahyono (40) mengatakan bahwa sosok seorang pemimpin yang baik bagi masyarakat Tengger, merupakan sosok yang bisa dijadikan panutan, baik ucapan maupun perbuatan, serta bertanggung jawab kepada masyarakat.
Dari sisi kepemimpinan, ki petinggi atau sesepuh masyarakat Tengger itu harus bisa membuktikan kinerjanya. Dengan kinerja yang terbukti, maka rakyat dengan hati nurani yang terbuka, akan ikhlas menganggap sesepuh tersebut sebagai seorang panutan hidup.
"Kami bisa mengikuti ki petinggi, karena itu kembali ke hati nurani. Namun, harus ada bukti dalam kinerjanya. Jika sudah bagus, kenapa harus menoleh ke kanan atau ke kiri," ujar Cahyono, yang memiliki seorang ibu asal Bali itu.
Baca juga: Suara dari Kampung Naga
Menjadi seorang kepala desa bagi masyarakat Tengger, pada hakikatnya harus mengalah untuk menang, dan harus terbukti kinerjanya. Di Suku Tengger, pada saat seorang kepala desa berbicara dan rakyat percaya, maka rakyat akan memberikan kepercayaan selamanya.
"Jika kepercayaan itu tidak dicederai, akan selamanya (menjadi kepala desa)," ujar Supoyo.
Seiring berjalannya waktu, selama menjabat sebagai Kepala Desa periode pertama tahun 2001-2006, Supoyo terus didorong warga Tengger untuk mencalonkan diri untuk mengisi jabatan yang sama pada periode kedua. Namun Supoyo menolak permintaan warga itu.
Pada akhirnya, saat masa pemilihan Kepala Desa Ngadisari untuk periode 2007-2013 muncul dua kandidat lain dalam kontestasi tersebut. Proses pembelajaran demokrasi bagi masyarakat Tengger yang digagas oleh Supoyo adalah, bagaimana masyarakat desa bisa menerima calon lain dan berbeda pilihan.
Supoyo sendiri, tetap enggan untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa pada saat itu. Namun, desakan warga yang semakin kuat, membuat Supoyo dicalonkan kembali oleh mayoritas masyarakat Tengger.
Sesungguhnya, meskipun saat itu dirinya tidak dicalonkan kembali oleh mayoritas masyarakat Tengger, Pemilihan Kepala Desa akan tetap berjalan, sesuai dengan konteks demokrasi.
Namun, demokrasi bukan hanya bicara tentang siapa pemimpin, namun juga bagaimana mengakomodir keinginan masyarakat untuk mendapatkan seorang pemimpin ideal. Semua dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
"Saya berbicara tidak akan mencalonkan diri, namun saya tidak pernah berbicara saya tidak siap apabila saya dicalonkan oleh masyarakat. Itu bahasa politis saya, untuk bagaimana demokrasi ini bukan hanya soal saya," kata Supoyo.
Dalam pemilihan tersebut, Supoyo memperoleh 60 persen dukungan dengan total suara mencapai 559 suara. Sementara dua lawannya, mendapatkan 300 suara dan 200 suara. Dalam periode kedua tersebut, Supoyo menjabat pada 2007-2013.
"Itulah proses demokrasi di desa kami. Merawat demokrasi seperti itu butuh keteladanan, jadi kita tidak harus mendahulukan ambisi," katanya.
Demokrasi Tanpa Hoaks
Berkaca dari proses demokrasi pemilihan Kepala Desa pada 2007-2013 di Desa Ngadisari, telah memunculkan tiga calon yang saling berhadapan untuk memenangkan satu kursi kepemimpinan. Pada umumnya, para calon tersebut akan bersaing dengan segala cara untuk memenangkan pertarungan.
Namun, hal itu tidak di Desa Ngadisari. Masyarakat Suku Tengger, kebanyakan merupakan masyarakat yang tidak menyukai adanya perselisihan antarwarga, termasuk pada saat ada pesta demokrasi pemilihan kepala desa tersebut.
Tiga orang calon itu, bahkan duduk bersama untuk mengawal pesta demokrasi yang ada. Duduk bersama merupakan bentuk musyawarah yang bertujuan untuk menghilangkan fitnah, seperti mengumbar kesalahan atau kelemahan dari pihak lawan.
"Dalam proses pilkada periode kedua itu, tidak ada gesekan sama sekali. Tidak ada hoaks, tidak ada yang namanya fitnah, itu tidak ada. Semua jalan saja," ujar Supoyo.
Tidak ada ucapan atau informasi-informasi yang menyesatkan atau memancing kemarahan dari pendukung calon kepala desa tertentu pada saat itu. Bagi masyarakat Suku Tengger, hidup berdampingan secara rukun, merupakan esensi dari hidup yang ada di dunia ini.
Kondisi tersebut berbeda dengan masyarakat yang ada di wilayah perkotaan. Derasnya informasi dari pihak yang tidak bertanggung jawab atau hoaks, terkadang bahkan membuat hubungan di dalam satu keluarga bisa menjadi tidak harmonis akibat berbeda pilihan.
Di tengah gempuran banjir informasi, khususnya menjelang Pemilu 2019, tidak membuat masyarakat Suku Tengger menjadi terkotak-kotak karena mendukung salah satu peserta Pemilu. Munculnya berita hoaks di dunia maya, sepertinya tidak berdampak bagi kehidupan masyarakat Tengger.
Supoyo mengatakan, bagi masyarakat Tengger, jika tidak mengikuti perkembangan zaman, khususnya pada era teknologi digital seperti sekarang ini, akan tertinggal. Namun, jika perkembangan teknologi itu diikuti dengan tidak memiliki rasa tanggung jawab, akan merugikan.
"Saya dan sesepuh lain di sini sering mengingatkan, dan mendampingi. Tolong pergunakan teknologi itu sesuai dengan kepentingannya, jangan digunakan untuk hal-hal yang tidak penting, apalagi menyinggung perasaan orang lain, atau menimbulkan kegaduhan," kata Supoyo.
Menurutnya, celah-celah kegaduhan, khususnya pada saat diadakannya pesta demokrasi pada tingkat apapun, selalu ada. Namun, bagi masyarakat Suku Tengger, hal itu bisa diredam dengan hal yang sangat sederhana, yakni musyawarah.
"Jadi sebenarnya celah-celah untuk menjadi fitnah, dahulu sebelum ada teknologi itu sudah banyak. Yang kami kedepankan adalah musyawarah. Jadi sejak dulu jika celah-celah itu tidak kita usahakan untuk ditutup, maka akan ada potensi untuk gesekan," kata Supoyo.
Para pemangku kepentingan pada Pemilu 2019, khususnya elit-elit politik yang ada di Indonesia, hendaknya bisa mengambil banyak pelajaran dari masyarakat Suku Tengger.
Masyarakat Tengger memberikan pelajaran bahwa kepemimpinan itu bukan hanya soal kekuasaan dan memenangkan kontestasi pada pesta demokrasi, namun, lebih kepada upaya untuk memenuhi kebutuhan sosok pemimpin yang terbaik bagi masyarakat Indonesia.
Sementara bagi masyarakat Indonesia, perlu memahami bahwa dalam berdemokrasi, berbeda itu wajar, tanpa harus menghakimi pilihan orang lain yang berbeda. Karena pada akhirnya, tujuan pesta demokrasi itu hanya satu, Indonesia menjadi lebih baik.
Baca juga: Belajar tidak golput dari warga Selagolong Gunung Rinjani
Baca juga: Pemilu adalah kegembiraan orang-orang pulau
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019