Salah satu bentuk aliansi strategis di bidang ekonomi ialah terpilihnya Indonesia sebagai tamu kehormatan dalam World Franchise Exhibition (WFE) 2019.
Pameran franchise berskala internasional ini akan diselenggarakan pada 27-29 April 2019 di Dhahran International Exhibition Centre, Kota Al Khobar, Arab Saudi.
WFE 2019 menargetkan pengunjung 100 ribu orang dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya. Terdapat 150 perusahaan dan 600 merek yang akan berpartisipasi. Indonesia juga memiliki paviliun seluas 144 meter persegi dan akan menghadirkan sejumlah perusahaan swasta nasional seperti Indomie, J-Co, ABC, dan Sasa.
Keikutsertaan Indonesia dalam WFE 2019 di Arab Saudi merupakan aliansi strategis kedua negara di bidang ekonomi. Tujuan utamanya ialah mewujudkan poros baru geopolitik dunia.
Aliansi strategis ini pun menjadi tindak lanjut dari kerja sama kedua negara di bidang sejarah dan budaya.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia terpilih sebagai tamu kehormatan dalam Festival Janadriyah Ke-33 di Riyadh, Arab Saudi.
Festival sejarah dan budaya internasional terbesar di Timur Tengah ini berlangsung sejak 20 Desember 2018 hingga 9 Januari 2019.
Dalam festival ini, Indonesia menempati paviliun sebesar 2.500 meter persegi. Diperkirakan sekitar 10 juta orang dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk telah berkunjung ke Festival Janadriyah.
Artinya, Indonesia memiliki posisi istimewa di mata Raja Salman, khususnya dalam hubungan kebudayaan. Apalagi penetapan Indonesia sebagai tamu kehormatan dilakukan melalui Dekrit Raja Salman pada September 2018.
Memurut BPS RI, pada tahun 2010 Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa dan sedikitnya 3.000 jenis tarian asli Indonesia.
Kondisi ini menjadi pertimbangan utama Raja Salman untuk mengundang Indonesia sebagai tamu kehormatan dalam Festival Janadriyah ke-33.
Aliansi strategis kedua negara dalam bidang sejarah, kebudayaan, dan ekonomi juga berdampak terhadap Timur Tengah dan Afrika.
Produk-produk non-migas Indonesia yang diekspor ke Arab Saudi berpeluang besar untuk masuk ke pasar Timur Tengah dan Afrika. Begitu pula dengan produk-produk kebudayaan Indonesia.
Bagi Indonesia, sasaran utamanya ialah meningkatkan industri pariwisata nasional, khususnya kunjungan wisatawan dari Timur Tengah dan Afrika serta eksibisi budaya Indonesia ke mancanegara.
Sedangkan bagi Arab Saudi, tujuan utamanya ialah meningkatkan peran perusahaan swasta dalam usaha-usaha non-migas, karena setiap perusahaan asing yang berinvestasi di Arab Saudi harus bermitra dengan perusahaan swasta lokal. Hal ini sesuai dengan Visi 2030 Arab Saudi.
Selain itu, Arab Saudi juga aktif membantu Indonesia pasca terjadinya bencana alam gempa bumi di NTB dan Bali, serta bencana gempa bumi, tsunami, dan Likuifaksi di Sulteng dan Sulbar.
Misalnya, pada 9 Agustus 2018, Pemerintah Arab Saudi berkomitmen memberikan bantuan senilai Rp1 miliar kepada korban bencana gempa bumi di NTB. Bantuan itu diberikan melalui MUI.
Bahkan Arab Saudi berkomitmen untuk membangun kembali masjid semi-permanen di daerah-daerah terdampak bencana alam melalui kemitraan dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI). Misalnya, masjid-masjid di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, Provinsi Sulteng, dan di Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulbar.
Komitmen pemerintah Saudi untuk membangun masjid semi-permanen ini disampaikan langsung oleh Kepala Kantor Imigrasi Jeddah, Muhammad As Syarif, saat bertemu dengan Menteri PAN dan RB RI, Komjen. Pol. Syafruddin, yang juga Waketum PP DMI, pada 7 Januari 2019 di Mekkah.
Kepedulian Arab Saudi terhadap korban terdampak bencana alam di Indonesia, khususnya tanggap darurat pascabencana dan pembangunan kembali masjid-masjid yang rusak, terkait erat dengan faktor Islam.
Agama Islam dianut oleh mayoritas rakyat di kedua negara. Bahkan masjid menjadi elemen penting dalam diplomasi antara Indonesia dengan Arab Saudi.
Indonesia memiliki lebih dari 800 ribu masjid dan musholla. Sedangkan Arab Saudi menjadi satu-satunya negara yang berwenang melayani dua tempat suci umat Islam, yakni Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Sewaktu Raja Salman melakukan kunjungan kenegaraan ke Jakarta dan Bogor, sekaligus berlibur ke Denpasar pada 1-12 Maret 2017, terjadi diplomasi masjid antar kedua negara. Saat itu Wapres RI, Muhammad Jusuf Kalla, menggunakan posisinya sebagai Ketua Umum PP DMI sewaktu bertemu Raja Salman.
Bahkan Wapres Kalla berhasil membuat Raja Salman terkejut sekaligus kagum terhadap Indonesia sebagai negara dengan masjid dan musholla terbanyak di dunia.
Kalau Raja Salman dikenal sebagai Khadimul Haramain, maka Wapres Kalla adalah Ketua Umum PP DMI yang berkhidmat untuk melayani 800 ribu masjid dan musholla di seluruh Indonesia.
Dengan gaya diplomasi seperti itulah Wapres Kalla memperkenalkan diri. Dampaknya, komunikasi antarkedua pemimpin berlangsung sangat akrab, dan bersahabat.
Menurut sensus penduduk Tahun 2010 oleh BPS RI, tercatat ada 207.176.162 penduduk Muslim. Angka ini mencapai 87,18 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.326 jiwa.
Dampaknya, Indonesia memiliki kuota haji terbesar di dunia dengan jumlah 221.000 jamaah haji pada tahun 2018. Angka kuota haji ini ditentukan oleh pemerintah Arab Saudi.
Hal ini sesuai dengan kesepakatan dalam KTT OKI di Amman, Yordania, pada tahun 1987. OKI sepakat bahwa dari setiap 1.000 orang penduduk Muslim, hanya satu orang yang berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji.
Dengan demikian, Indonesia dan Arab Saudi merupakan negara yang memiliki peranan penting di Dunia Islam. Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Indonesia juga menjadi negara dengan masjid dan musholla terbanyak di dunia. Bahkan Wapres RI juga mengemban amanat sebagai Ketua Umum PP DMI.
Sementara Arab Saudi merupakan negara yang berwenang melayani jamaah haji dan umrah dari seluruh dunia setiap tahun. Bahkan Kepala Negara Saudi bergelar Khadimul Haramain yang memimpin otoritas negara untuk melayani dua tanah suci umat Islam se-dunia, Mekah dan Madinah.
Selain itu, Indonesia dan Arab Saudi merupakan negara besar dan paling berpengaruh di Kawasan masing-masing. Indonesia berada di kawasan Asia Tenggara dan Arab Saudi berada di kawasan Teluk.
Dengan luas wilayah 1.910.931 Km2 (2/3 adalah lautan) dan memiliki 17.504 pulau, Indonesia berpredikat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sekaligus negara terluas ke-13 di dunia.
Apalagi posisi Indonesia sangat strategis, yakni terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia serta di antara Samudera Hindia dan Pasifik.
Dampaknya, kebijakan politik luar negeri Indonesia sangat berpengaruh terhadap dinamika politik global.
Sedangkan Arab Saudi memiliki wilayah seluas 2.150.000 Km2. Arab Saudi juga menjadi negara produsen sekaligus eksportir minyak bumi terbesar di dunia sehingga disebut Petrodollar.
Menurut data De Golyer dan Mac Naughton pada 2019, Arab Saudi mengendalikan cadangan minyak bumi sebesar 268,5 miliar barel. Cadangan minyak ini terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Apalagi, Arab Saudi memiliki perusahaan Aramco, yakni perusahaan konsesi antara Arab Saudi dan Amerika Serikat yang bertugas mengeksplorasi dan memproduksi migas. Dampaknya, kebijakan luar negeri Arab Saudi sangat berpengaruh terhadap dinamika politik global.
Indonesia dan Arab Saudi pun merupakan dua dari hanya tiga negara OKI yang menjadi anggota G-20. Satu negara OKI lainnya adalah Turki.
Menurut IMF, Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara yang paling menguasai perekonomian dunia pada 2016. Dengan PDB sebesar US$ 3.027,83 miliar, Indonesia menyumbang 2,34 persen dari PDB dunia pada 2016.
Bahkan Menkeu RI, Sri Mulyani Inderawati, memprediksi Indonesia akan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kelima di dunia pada tahun 2045.
Sedangkan Arab Saudi adalah negara pengendali utama OPEC. Bahkan negara berpenduduk 33.413.600 jiwa per 1 Januari 2018 itu juga mampu memproduksi minyak bumi sebesar 10.460.710 barel per hari di area seluas 2.149.690 Km2.
Di bawah kepemimpinan Raja Salman, Arab Saudi ingin mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap sektor minyak bumi. (Visi 2030). Caranya dengan melakukan diversifikasi ekonomi secara besar-besaran dari sektor minyak bumi ke sektor jasa dan layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pariwisata.
Dengan modal dasar inilah Arab Saudi berpredikat sebagai salah satu dari 20 negara dengan ekonomi terkuat di dunia.
Dengan modal dasar dan sumber daya yang dimiliki, Indonesia dan Arab Saudi berpotensi besar untuk membentuk poros baru geopolitik dunia. Poros Jakarta-Riyadh dapat menjadi kelanjutan dari kerja sama dan interaksi kedua negara dalam berbagai forum dan organisasi internasional. Misalnya KAA, GNB, OKI, WIEF, G-20, dan PBB.
*) Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat (PP) Perhimpunan Remaja Masjid (Prima) DMI, dan peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI).
Baca juga: Indonesia tamu kehormatan Pameran Franchise Internasional di Saudi
Baca juga: Indonesia optimalkan garap potensi pasar wisatawan dari Saudi Arabia
Pewarta: Muhammad Ibrahim Hamdani SIP MSi *)
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019