• Beranda
  • Berita
  • Pengamat klaim hadapi keterbatasan dalam menilai pemilu Thailand

Pengamat klaim hadapi keterbatasan dalam menilai pemilu Thailand

23 Maret 2019 20:44 WIB
Pengamat klaim hadapi keterbatasan dalam menilai pemilu Thailand
Sudarat Keyuraphan (tengah), calon perdana menteri dari Partai Pheu Thai menyapa pendukungnya saat kampanye pemilihan di Provinsi Ubon Ratchathani, Thailand, Senin (18/2/2019). (REUTERS/ATHIT PERAWONGMETHA)
Satu kelompok internasional mengatakan pihaknya akan menghadapi keterbatasan dalam menilai pemilihan umum di Thailand yang akan dilangsungkan pada Ahad apakah akan berjalan bebas dan adil akibat pemberian akreditasi yang terlalu lambat untuk melakukan lebih dari 35 pemantauan di negara itu.

Para pemilih akan memberikan suara mereka pada Ahad dalam pemilu pertama sejak kudeta militer tahun 2014 dalam konstestasi antara pemimpin junta saat ini, yang berusaha tetap berkuasa melalui pemungutan suara, dan partai-partai anti-junta yang setia kepada mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang berada di pengasingan.

Asian Network for Free Elections (ANFREL) yang berkedudukan di Bangkok berupaya mendapatkan akreditasi pada November dan berharap mengerahkan 80 pengamat untuk memantau jalannya pemilu yang diikuti 51,4 juta orang pemilih itu. 

Namun, izin untuk memantau pemilu itu baru diberikan pada 14 Maret dan kurang dari setengah dari total jumlah pemantau yang akan bertugas di lapangan.

"Sayang sekali ... kami tidak bisa menurunkan semua pengamat yang telah kami rencanakan karena masalah visa," kata Sekretaris Jenderal ANFREL Rohana Nishanta Hettiarachchie, dan ketua misi pemilihan Thailand (TVM) kepada Reuters.

Ketika dimintai tanggapannya,  seorang juru bicara pemerintah dan seorang wanita juru bicara kementerian luar negeri meminta Reuters untuk menanyakan hal itu ke komisi pemilu, yang tak bersedia memberi komentar.

Pemungutan suara di Thailand dilangsungkan setelah negara itu diperintah langsung oleh junta hampir lima tahun dan dipandang sebagai kontestasi antara pemimpin junta Prayuth Chan-ocha - yang ingin tetap berkuasa sebagai pemimpin terpilih - dan satu "fron demokrasi" beranggota partai-partai yang dipimpin oleh Pheu Thai pro-Thaksin yang digulingkan.

Satu faksi ketiga, yang dipimpin Partai Demokrat anti-kemapaman Thaksin, berharap dapat membentuk sebuah pemerintahan yang netral.

Namun, sistem parlementer dalam konstitusi baru yang dibuat dengan dukungan militer, memberikan partai-partai pro-junta keuntungan besar atas para pesaing mereka, termasuk Pheu Thai, yang diperkiarakan akan meraih suara paling banyak.

Baca juga: Wakil PM: Thailand selenggarakan pemilu pada 2019

Sumber: Reuters


 

Pewarta: Mohamad Anthoni
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2019