"Bahkan terkadang sepanjang tahun lebih dari itu sampai 20.000 orang pengunjung/tahun," kata Kepala Monumen Pers Nasional Widodo Hastjaryo di Solo, Rabu.
Ia mengatakan para pengunjung ini di antaranya berasal dari pelajar, mahasiswa, hingga pengunjung yang datang secara massal dalam rangka melakukan perjalanan wisata.
"Kalau untuk pelajar dan mahasiswa biasanya untuk cari data. Beberapa data yang dicari di antaranya sejarah, komunikasi, dan iklan, misalnya juga mereka dapat tugas membandingkan berita daerah dengan pusat," katanya.
Menurut dia, museum tersebut memiliki 20.000 judul bahan pustaka, 16.000 di antaranya berupa buku dan 4.000 lainnya berupa buletin dan koran.
Selain itu, ada pula koleksi berupa artefak, di antaranya mesik ketik milik tokoh pers nasional Bakrie Soeriaatmadja dan pakaian yang digunakan oleh wartawan senior Hendro Subroto saat melakukan peliputan masa integrasi Timor Timur ke Indonesia.
"Selain itu juga ada kamera milik wartawan Harian Bernas Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin yang terbunuh secara misterius," katanya.
Ia mengatakan total jumlah koleksi artefak di museum tersebut hingga saat ini sekitar 100 item.
Sementara itu, untuk pemeliharaan gedung maupun koleksi, pihaknya bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI.
"Untuk pemeliharaan koleksi memang kami sesuai dengan standar Perpusnas karena koleksi kami kan kebanyakan kertas. Jadi harus lebih berhati-hati," katanya.
Sementara itu, terkait dengan sejarah museum tersebut, dikatakannya, didirikan pada tahun 1978 setelah lebih dari 20 tahun diusulkan dan dioperasikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia.
Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1918 atas perintah Mangkunegaran VII tersebut dulunya bernama "Societeit Sasana Soeka". Untuk kompleks monumen terdiri atas gedung societeit lama dan digunakan untuk pertemuan pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Selain itu, ada pula beberapa gedung yang ditambahkan sekitar tahun 1970.
Pewarta: Aris Wasita
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019