"Saya pikir penting supaya strategi kita tidak berubah-ubah, dan kita tahu apa yang menjadi arah kita mau menembus pasar ekspor, dengan cara apa," kata Ketua GAPMMI Adhi Lukman di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan bahwa cara atau "how to" untuk menembus pasar ekspor, siapa yang siap menembus, kemudian dukungannya seperti apa, semua itu harus disiapkan dalam cetak biru strategi perdagangan ekspor.
"Bahkan kalau menurut saya cetak birunya itu harus sampai menyusun strategi di setiap zona ekspor, karena masing-masing zona memiliki strategi yang berbeda-beda," ujar Adhi.
Dia juga menambahkan Indonesia jangan membuat cetak biru strategi yang umum, karena setiap kawasan seperti Afrika dengan Eropa memiliki cara atau strategi yang berbeda untuk menembusnya.
"Termasuk dalam cetak biru tersebut ditentukan apa fokus komoditas dan produk, itu harus dijabarkan masing-masing," tuturnya.
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data bahwa ekspor industri pengolahan pada Februari 2019 mencapai 9,41 miliar dolar AS atau turun 7,71 persen jika dibandingkan Januari 2019, dan turun 8,06 persen jika dibandingkan Februari 2018.
Presiden Joko Widodo menegaskan, tidak mau investasi dan ekspor Indonesia kalah dari Kamboja dan Laos karena Tanah Air memiliki kekuatan besar, yakni kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Menurut Presiden Joko Widodo, meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia terlalu lama menyukai ekspor material mentah dan tidak juga berani melakukan industrialisasi dan hilirisasi.
Ia mencontohkan Indonesia mengekspor banyak komoditas seperti karet, minyak sawit mentah (CPO), kopra hingga batu bara dalam bentuk mentah. Padahal, nilai tambahnya bisa lebih besar jika diolah terlebih dulu.
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019