Fithra dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan masih terdapat persoalan terkait rencana impor bawang putih yang dilakukan Bulog.
Persoalan itu antara lain penunjukan Bulog tanpa kewajiban tanam lima persen dari volume impor serta penugasan impor yang dirasakan diskriminatif terhadap swasta.
"Dalam hal ini, pilihan paling bijak adalah meng-'hold' izin," kata ahli perdagangan internasional dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.
Untuk itu, ia meminta adanya sinergi dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan kementerian terkait guna mencari jalan keluar nondiskriminatif dari isu kurangnya pasokan bawang putih nasional.
Fithra juga mengharapkan adanya diskusi dengan para importir yang dirugikan, karena kebijakan impor bawang putih ini diduga terkait erat dengan praktik monopoli.
"Jangan sampai kebijakan ini keluar terlebih dahulu, sebelum ada kesepakatan dari para pengusaha yang dirugikan," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Peneliti Lembaga Riset Visi Teliti Saksama Nanug Pratomo mengingatkan Bulog memiliki peran sebagai stabilisator harga, bukan perusahaan yang melakukan impor.
Selain itu, tambah dia, secara kelembagaan Bulog tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pembudidayaan komoditas.
"Jika solusinya kemudian Bulog diberikan hak untuk melakukan impor tanpa ada kewajiban menanam, maka hal itu hanya akan mencederai persaingan usaha," ujarnya.
Menurut Nanug, fokus utama Bulog adalah menjalankan tugas utama pendistribusian barang serapan dari petani, terutama komoditas pangan utama seperti beras, gula atau daging.
Oleh karena itu, apabila harus melaksanakan tugas penyediaan bawang putih, idealnya Bulog menyerap terlebih dahulu bawang putih hasil panen petani lokal.
Sebelumnya, Bulog mendapatkan penugasan untuk mengimpor 100.000 ton bawang putih dan telah menyiapkan anggaran sebesar Rp500 miliar guna merealisasikan rencana itu.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019