DP3A Sulteng terlibat dalam upaya pemenuhan hak perempuan dan anak korban bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi dan Parigi Moutong.
Upaya itu melibatkan aktivis perempuan dan anak yang tergabung dalam KPKP-ST dan Libu Perempuan.
Ihsan menyebut saat dan pascabencana banyak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, baik di lokasi pengungsian maupun di luar shelter pengungsian. Hal ini menjadi salah satu masalah yang di temui dan di sampaikan langsung oleh korban bencana di 12 Tenda Ramah Perempuan (TRP) yang ada di lokasi pengungsian.
"Terdapat 12 TRP. Disini menjadi awal masuk sebagai tempat transit aspirasi mengenai pemenuhan hak perempuan dan anak," ujar dia. Menurut dia, TRP memiliki peran yang sangat baik di pengungsian, untuk melakukan pendampingan, pembimbingan, diskusi dan sebagainya.
Karena itu TRP perlu dilegalkan dalam skala strata bawah di pengungsian pascabencana dalam upaya pemenuhan hak, perlindungan terhadap perempuan. Di sisi lain, kata dia, perlu kerangka regulasi daerah, terkait perencanaan dan pemenuhan hak, perlindungan perempuan pascabencana. Regulasi itu perlu mengatur tentang keikutsertaan atau partisipasi perempuan dalam asistensi anggaran daerah.
"Disini kelompok-kelompok perempuan dan anak perlu terlibat. Karena, mereka mengetahui tentang masalah yang di hadapi oleh perempuan dan anak," ujar dia.
Ihsan mengutarakan, hal ini penting dilakukan pascabencana Sulteng. Lewat keterlibatan itu kelompok-kelompok perempuan, kelompok rentan, kelompok anak, dapat mengajukan usulan program kegiatan, yang selanjutnya di intervensi berdasarkan data-data autentik dan faktualisasi.
"Ini agar dapat melihat, apakah kegiatan yang di selenggarakan responsif gender atau tidak," sebut dia. Selanjutnya, ia menambahkan perlu ada penelitian tentang kapasitas perempuan. Termasuk daya beli perempuan dan pria, yang masih jauh perbandingannya.
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019