• Beranda
  • Berita
  • Deteksi dini TBC dilakukan di lingkungan pondok pesantren

Deteksi dini TBC dilakukan di lingkungan pondok pesantren

31 Maret 2019 19:40 WIB
Deteksi dini TBC dilakukan di lingkungan pondok pesantren
Kepala Dinas Kesehatan H. Akhmad Rivai, (berdiri) bersama KH. Yusi Firmani Pengasuh Ponpes Nurul Abshor Stagen dan narasumber dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan. (Antaranews Kalsel/ist/imm)
Dinas Kesehatan Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan melakukan pendeteksian sejak dini penyakit Tuberkulosis (TBC) di lingkungan pondok pesantren di "Bumi Bersujud".

"Diseminasi informasi berupa intensifikasi deteksi dini program TBC, khususnya yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Nurul Abshor Stagen, Kotabaru diharapkan memberikan dampak terhadap penemuan penderita sedini mungkin, sehingga tidak ada penderita yang putus obat atau gagal pengobatan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kotabaru H Akhmad Rivai, Ahad.

Dikatakan, penyakit TBC merupakan satu dari 10 penyebab kematian dan penyebab utama agen infeksius di tingkat global. Infeksius adalah pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif).

Oleh karena itu, mengapa TBC perlu dieliminasi, hal ini dikarenakan bahwa TBC menular sehingga menjadi ancaman serius bagi setiap negara serta pengobatan TBC tidak mudah dan murah.

TBC yang tidak ditangani hingga tuntas menyebabkan resistensi obat dan TBC menular dengan mudah yakni melalui udara yang berpotensi menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, pondok pesantren, dan tempat umum lainnya.

Berdasarkan data di Kabupaten Kotabaru penemuan kasus TBC untuk semua kategori hingga saat ini sebesar 37,1 persen dari 998 kasus, kata Rivaia dalam siaran persnya.

Di mana masih rendahnya atau berkisar 24,4 persen penderita TBC yang melaksanakan konversi atau pemeriksaan dahak setelah 2 bulan pengobatan, juga angka kesembuhan atau penderita dengan pengobatan lengkap masih rendah berkisar 52,4 persen.

Rendahnya penemuan kasus TBC disebabkan masih banyaknya petugas yang tidak terlatih, penemuan penderita yang bersifat pasif, dan program ketuk pintu tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Di samping itu, pengobatan yang tidak tuntas atau putus obat berpengaruh kepada angka kesembuhan pada penderita itu sendiri sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap resistensi obat TBC.*


Baca juga: 20.000 penderita TBC di Riau belum jalani pengobatan

Baca juga: Kasus TBC di Parigi Moutong masing tinggi


 

Pewarta: Imam Hanafi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019