Dalam putusan pada Jumat (29/3), majelis arbiter menolak gugatan yang diajukan oleh IMFA serta memerintahkan IMFA untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan selama proses arbitrase kepada Pemerintah RI.
"Ini keberhasilan yang dicapai dengan jalan yang panjang," ujar Jaksa Agung HM Prasetyo di Kantor Kejagung, Jakarta, Senin.
Jaksa Agung mengatakan keberhasilan penanganan perkara yang disidangkan sejak Agustus 2018 itu didukung tim terpadu yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2016 tentang Tim Penanganan Gugatan Arbitrase IMFA.
Untuk menangani kasus itu lebih lanjut, Jaksa Agung memberikan kuasa substitusi kepada Tim Jaksa Pengacara Negara dan Kantor Hukum Simmons&Simmons yang bekerja sama dengan Kantor FAMS Lawyer.
IMFA mengajukan gugatan terhadap Pemerintah RI pada 24 Juli 2015 dengan alasan adanya tumpang tindih izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki oleh PT SRI dengan tujuh perusahaan lain akibat adanya permasalahan batas wilayah yang tidak jelas.
Dengan adanya tumpang tindih IUP tersebut, IMFA mengklaim Pemerintah RI telah melanggar BIT India-Indonesia dan meminta ganti rugi sebesar 469 juta dolar AS atau Rp6,68 triliun.
PT SRI merupakan badan hukum Indonesia, tetapi pemegang saham dari PT SRI adalah Indmet Mining Pte Ltd (Indmet) Singapura yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Indmet (Mauritius) Ltd, sedangkan saham dari Indmet (Mauritius) Ltd dimiliki oleh IMFA.
Majelis arbiter dalam putusannya menerima bantahan Pemerintah RI soal permasalahan tumpang tindih dan batas wilayah merupakan permasalahan yang telah terjadi sebelum IMFA masuk sebagai investor di Indonesia.
Permasalahan tersebut semestinya telah diketahui oleh IMFA sehingga Pemerintah RI sebagai negara tuan rumah tidak dapat disalahkan atas kelalaian investor.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019