Pemerintah dan kalangan pengusaha dinilai perlu untuk bersinergi dalam rangka membenahi data komoditas ikan tuna agar dapat memaksimalkan penangkapan komoditas tersebut di kawasan perairan laut lepas sebagaimana telah ditetapkan kuotanya oleh organisasi regional.Pelaku usaha perikanan dan pemerintah perlu kerja sama intensif untuk memperbaiki laporan dan data hasil produksi sebab naik turunnya kuota ditentukan oleh kualitas data
"Pelaku usaha perikanan dan pemerintah perlu kerja sama intensif untuk memperbaiki laporan dan data hasil produksi sebab naik turunnya kuota ditentukan oleh kualitas data," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Abdi Suhufan, kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Sebagaimana diketahui, kuota tangkapan tuna di laut lepas internasional diatur oleh berbagai organisasi pengelolaan perikanan regional seperti Komisi Konservasi TUna Sirip Biru Selatan (CCSBT), Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC), dan Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC).
Bila kuota yang ditetapkan suatu negara tidak bisa dipenuhi oleh kapal penangkap ikan yang berasal dari negara tersebut, maka ada kemungkinan kuota tersebut dapat diserahkan ke negara lain yang dinilai lebih mampu dalam memenuhi kuota yang telah ditetapkan.
Indonesia, ujar dia, perlu mengoptimalkan penangkapan di wilayah pengelolaan perikanannya agar meningkat sehingga biaya operasionalnya bisa lebih murah daripada harus menangkap ke wilayah laut lepas.
Sebelumnya, Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Zulficar Mochtar menyatakan bahwa 60 persen tangkapan tuna, cakalang dan tongkol merupakan hasil jerih payah nelayan kecil sehingga penting guna memberdayakan mereka.
"Hasil analisa data tangkapan tuna yang dihasilkan oleh nelayan Indonesia menyimpulkan bahwa 60 persen lebih hasil tangkapan tuna, cakalang dan tongkol tersebut ternyata berasal dari hasil tangkapan nelayan skala kecil kurang dari 30 GT (gross tonnage)," kata Zulficar Mochtar.
Hal itu, ujar dia, berarti bahwa perikanan tuna skala kecil mampu menyumbang, bahkan sebagai andalan kedaulatan pangan nasional, dan di saat bersamaan sektor skala kecil ini juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang banyak kepada masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, lanjutnya, armada skala kecil yang dominan tersebut telah memberikan andil yang cukup besar terhadap produksi beberapa komoditas penting di Indonesia.
KKP juga mendorong kalangan perusahaan tuna nasional agar dapat memenuhi persyaratan sertifikasi yang berlaku di pasar global dalam rangka meningkatkan daya saing produk Nusantara.
"Peluang pemanfaatan pasar internasional lainnya, yang hari ini terbuka adalah melalui pelaksanaan Fisheries Improvement Program (FIP) dengan tujuan akhir keberlanjutan sumber daya ikan, dimana bonus proses tersebut adalah Sertifikat MSC Eco-Label," katanya.
Menurut Zulficar, proses-proses ini secara sukarela telah dilakukan oleh para pelaku usaha perikanan tuna dan pemerintah mendukung hal ini karena bertujuan baik yaitu untuk mempercepat tercapainya pengelolaan stok sumberdaya tuna yang berkelanjutan, yang ditunjukkan melalui indikator pengelolaan yang telah dirumuskan.
Ia bersyukur bahwa satu perusahaan di Sorong, yaitu PT Citra Raja Ampat telah mendapatkan Sertifkat MSC-Eco Label ini, sehingga diharapkan dapat membuka akses jalan bagi perusahaan perikanan tuna lainnya untuk memperoleh sertifikat yang sama.
"Ini tidak hanya merupakan pengakuan internasional tetapi dibeberapa negara lain dapat meningkatkan margin keuntungan pasar sebesar 16 persen," ucapnya.
Baca juga: Ternyata 60 persen tangkapan tuna hasil jerih payah nelayan kecil
Baca juga: Perum Perindo tingkatkan pasar ekspor ikan tuna ke Jepang
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019