Pemerintah Indonesia menilai reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) merupakan suatu hal yang harus dilakukan, kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Ruddyard.Bagi Indonesia, kami ingin veto dihapuskan, tetapi untuk itu kami harus mengubah isi Piagam PBB. Karena itu, lebih baik mengatur ulang penggunaan hak veto
"Reformasi DK PBB itu suatu keharusan karena sistem yang ada sudah tidak relevan lagi untuk digunakan dalam menangani situasi dan masalah pada masa sekarang ini," ujar Febrian di Jakarta, Selasa.
Pernyataan tersebut dia sampaikan pada kegiatan diskusi umum yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bertema "Tantangan Global yang dihadapi Dewan Keamanan PBB: Perspektif Polandia dan Indonesia".
Menurut Febrian, sistem operasi dan kerja di Dewan Keamanan PBB perlu diperbarui, dan DK PBB harus mencerminkan kenyataan pada masa sekarang, bukan kenyataan pada masa lalu saat pendirian DK PBB.
Dia menyebutkan setidaknya ada lima hal yang perlu dibahas dalam upaya reformasi Dewan Keamanan PBB. Pertama, soal kategori keanggotaan, yakni antara anggota tidak tetap dan anggota tetap Dewan Keamanan.
Kedua, perihal hak veto juga perlu dibahas dalam reformasi DK PBB, apakah veto akan tetap berlaku atau dihapuskan.
"Bagi Indonesia, kami ingin veto dihapuskan, tetapi untuk itu kami harus mengubah isi Piagam PBB. Karena itu, lebih baik mengatur ulang penggunaan hak veto," ucap Febrian.
Menurut dia, diperlukan peraturan agar hak veto tidak dapat digunakan oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB dalam menangani kasus tertentu, seperti kasus genosida, kejahatan kemanusiaan, dan pelanggaran berat HAM.
Selanjutnya, dia menyebutkan hal ketiga yang perlu dibahas dalam reformasi DK PBB adalah jumlah negara perwakilan dari setiap kawasan.
Keempat, dalam reformasi DK PBB juga perlu dibahas soal jumlah keseluruhan anggota karena bila jumlahnya terlalu banyak, justru akan membuat kerja Dewan Keamanan PBB tidak efisien.
Kelima, pemerintah Indonesia menilai bahwa metode kerja Dewan Keamanan PBB juga perlu direformasi, khususnya koordinasi antara DK PBB dengan Majelis Umum PBB.
"Dan semua hal untuk reformasi Dewan Keamanan PBB ini harus dalam satu paket," ujar Febrian.
Indonesia pada awal Januari 2019 resmi menduduki kursi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020.
Baca juga: Indonesia: Dewan Keamanan PBB hadapi tantangan unilateralisme
Baca juga: Keanggotaan Indonesia di DK PBB dinilai bisa ciptakan opini publik
Baca juga: Indonesia pilih tema "peacekeeping" saat ketuai DK PBB
Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019