Diambil dari bahasa Sansekerta, secara etimologi wastra adalah sehelai kain, tetapi lebih dari itu wastra menjadi lebih punya arti karena setiap corak yang dibubuhkan di atasnya memiliki makna tersendiri yang tidak hanya mencakup pada falsafah dan simbol tetapi juga sejarah kebudayaan dan tradisi.
Untuk memperkenalkan kemegahan wastra kepada khalayak inilah maka Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Republik Indonesia menggelar pameran bertajuk "Festival Wastra Nusantara" yang digelar di Balai Kirti Museum Kepresidenan Bogor sejak tanggal 8 sampai 14 April 2019.
Memamerkan 100 wastra yang merupakan koleksi dari sejumlah ibu negara Republik Indonesia, pameran ini juga memaparkan makna yang ada di wastra-wastra tersebut melalui papan informasi yang dipasang di beberapa sudut ruang pameran.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI Hilmar Farid mengatakan sebagai negara dengan lebih dari 1000 kelompok etnik yang ada, Indonesia tentunya memiliki ragam kekayaan wastra yang memiliki karakteristik berbeda-beda.
"Setiap kelompok etnik yang ada ini punya tradisi wastra," kata Hilmar.
Menurut dia, di masa lalu, wastra bukan hanya pakaian yang dikenakan, karena lebih dari itu ada pernyataan yang dibawa dalam makna masing-masing wastra.
Dengan kata lain, simbol-simbol yang ada dalam sehelai wastra menjadi salah satu cara berkomunikasi yang diekspresikan lewat cara berpakaian.
"Kalau orang pakai pakaian wastra ini sudah jadi fashion statement, saya ini siapa. Bukan hanya sekadar bagus. Di masyarakat kita ini sangat penting, komunikasi di masa lalu hidup karena ada simbol seperti itu dan dieksperesikan lewat cara berpakaian," ucap dia.
Hilmar tak memungkiri kalau di era sekarang pengenalan masyarakat pada wastra atau lebih jauh lagi makna yang terkandung dalam wastra sudah mulai terlupakan.
Oleh karena itu lewat pameran ini dia berharap akan ada ketertarikan yang membuat generasi muda bisa lebih akrab sehingga mau mengenali dan menggali tradisi wastra lebih jauh lagi.
"Kami berharap dari sini mulai bergulir bisa pameran ke tempat lain, paling tidak di 111 museum negeri yang ada. Pelan-pelan kita juga berharap di sekolah kembali dipelajari, simbol-simbol, makna, dan fungsi sosial dari wastra," ucap dia.
Pengenalan pada simbol-simbol ini penting terutama untuk budaya masyarakat di Indonesia yang kompleks.
Dengan saling mengenal simbol yang sudah ada sejak lama ini, sesama anak bangsa bisa saling mengenal dan tahu satu dengan yang lain hanya dengan mengenali simbol yang dia gunakan.
"Enggak usah panjang lebar berdiskusi kita sudah banyak tahu, karena basis kita toleransi ya ini, dengan bahasa kebudayaan. Dengan bahasa kebudayaan banyak hal penting bisa dikomunikasikan dan ini melampaui bahasa politik. Jadi kembali, wastra ini jadi alat kita berkomunikasi, bertegur sapa, membangun kembali ikatan yang sempat renggang atau mengalami gejolak," ucap dia.
Sebetulnya, gaya busana sebagai pernyataan identitas dalam budaya populer saat ini juga terjadi. Hilmar mencontohkan misalnya K-Pop atau Harajuku yang punya gaya fesyen nyentrik.
"Ini kan sama pernyataan identitas. Lewat pengenalan ini ingin disampaikan kalau generasi muda berbasis pada wastra tradisional itu lebih keren lagi karena berakar pada kebudayaan kita sendiri," ucap dia.
Sementara untuk membawa wastra agar lebih mendunia, menurut Hilmar perlu perhitungan-perhitungan yang matang dengan tidak sekadar mengirim wastra ke pameran busana di luar negeri.
Karena lebih dari itu, perlu pameran yang memang bergengsi dan memiliki pengaruh agar promosi wastra ke ranah global lebih tepat sasaran.
"Selain itu ya fokus. Segera setelah ini kita pertemuan, agenda di luar negeri apa sih yang paling dicari orang, potensinya paling gede. Karena memang tidak bisa hanya Kemendikbud sendiri, harus dari pemangku kepentingan," ucap dia.
Sementara itu, perancang busana Samuel Wattimena mengatakan Indonesia memiliki teknik wastra atau kain tradisional terlengkap di dunia.
"Teknik yang kita miliki memang awalnya berasal dari luar seperti Cina dan India tetapi nenek moyang kita berhasil membuatnya menjadi identitas kita," kata Samuel.
Dia mengatakan beberapa teknik yang diterapkan dalam kain tradisional antara lain adalah batik, songket, sulam dan ikat.
Namun dia menyayangkan kini citra wastra kurang populer di mata generasi hal itu karena tak banyak generasi muda tidak menjadikan wastra sebagai wahana ekspresi.
"Generasi muda selain harus tahu harus bisa berekspresi dengan hal ini. Kalau kita tidak pernah ini bagian dari ekspresi kita akan ditinggalkan dong?," kata dia.
Dia mendorong agar pegiat wastra yang masih muda dapat berkarya menciptakan motif-motif baru pada kain, membuat motif pada wastra tidak selalu harus berpatokan pada motif-motif lama yang suda ada.
"Motif itu harus boleh dikembangkan, disesuaikan dengan zaman, yang tidak boleh berubah itu kain-kain untuk upacara adat, tapi untuk pakaian sehari-hari ya boleh," kata dia.
Dia mengatakan masalah pengembangan wastra nusantara selama adalah selalu ditangani oleh Kementerian UMKM atau Kementerian Perindustrian.
Menurut dia perspektif kebudayaan harus mulai digunakan dalam mengembangkan wastra.
"Kalau hanya dari sisi ekonomi akan hilang budayanya. Pengrajin dapat kehilangan kreatifitasnya sehingga kualitasnya dalam membuat kain dapat menurun, kebudayaan harus memberi wawasan dan makna akan hal ini," kata dia.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019