"Masyarakat sudah cerdas. Persoalannya, yang tidak cerdas justru elitnya," katanya, di Jakarta, Selasa.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu mencontohkan pemenuhan keterwakilan perempuan dalam daftar pemilih tetap (DPT) paling sedikit 30 persen.
Namun, kata peraih gelar doktor ilmu politik dari University of Sydney, Australia, itu, rekrutmen dari partai politik yang terkadang lucu.
"Ada ketua partai, semua anaknya perempuan, istrinya, jadi calon anggota legislatif semua. Emang enggak ada orang lain? Kecuali, orang tuanya enggak maju," katanya.
Meski demikian, Chusnul mengakui perkembangan peran perempuan dalam politik sekarang sudah luar biasa, termasuk pandangan dari para caleg laki-laki.
Ia menjelaskan sebenarnya ada dua cara, yakni "the politic of presence" (politik kehadiran) atau memilih perempuan yang duduk sebagai wakil rakyat.
Kedua, kata dia, "the political of ideas", yakni memilih caleg laki-laki yang memiliki perhatian besar terhadap isu-isu perempuan.
"Sebenarnya perkembangannya sudah luar biasa. Kalau zaman dulu, susah mencari caleg laki-laki yang memiliki pemikiran 'gender fiendly'. Sekarang, sudah cukup banyak," katanya.
Chusnul menyebutkan Indonesia sekarang ini menduduki peringkat 114 dunia untuk jumlah perempuan yang duduk di kursi parlemen.
Pewarta: M Arief Iskandar dan Zuhdiar Laeis
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019