"Masalah yang dihadapi antara lain keterbatasan sumber daya manusia yang memahami pengarusutamaan gender dan pelaksanaannya, keterbatasan anggaran dan perubahan nomenklatur kelembagaan," kata Erni dalam penutupan Rapat Koordinasi Teknis Percepatan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender 2019 di Semarang, Jawa Tengah, Rabu.
Menurut Erni, keterbatasan sumber daya manusia biasanya terjadi di tingkat kabupaten/kota. Perubahan nomenklatur kelembagaan di daerah juga menyebabkan kelembagaan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tidak sama bentuknya antara daerah satu dengan yang lain.
Karena itu, Erni mengatakan strategi yang dilakukan dalam memfasilitasi dan mendampingi pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah perlu dilihat dan dievaluasi kembali.
"Ke depan, status kelembagaan daerah akan menjadi dasar bagi kami dalam melakukan fasilitasi agar lebih efektif mengingat sumber daya yang tersebar, baik manusia maupun dana," tuturnya.
Erni mengatakan yang tidak kalah penting dalam upaya penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender adalah peningkatan komitmen, pembuatan mekanisme pemantauan, pembangunan kolaborasi, jejaring dan sinergi.
"Percepatan pengarusutamaan gender harus melibatkan sinergi antara kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan media massa," katanya.
Berdasarkan evaluasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terhadap kelembagaan pengarusutamaan gender di daerah, baru ada delapan provinsi dan kabupaten/kota yang meraih predikat mentor.
Sementara itu, delapan provinsi dan 36 kabupaten/kota meraih predikat utama, delapan provinsi dan 75 kabupaten/kota meraih predikat madya, serta dua provinsi dan 44 kabupaten/kota meraih predikat pratama. (*)
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019