"Yang menjadi konsern kami ini harus dilakukan penanganan terbaik dari berbagai sisi supaya kejadian seperti ini tidak terulang di mana pun karena sangat memprihatinkan," kata Kanya Eka Santi yang dihubungi dari Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan, Kemensos akan mendampingi korban maupun pelaku sambil menunggu proses hukum yang sedang berjalan.
Karena terkait anak baik sebagai pelaku maupun korban maka yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Berdasarkan UU tersebut aparat penegak hukum akan melakukan diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
"Kita lihat prosesnya saja karena walaupun SPPA mendorong diversi, tapi diversi sendiri berlaku pada berbagai tahap, misalnya pada tahap awal jika orang tua korban tidak ingin berdamai maka lanjut ke tahap berikutnya," tambah dia.
Pada tahap selanjutnya yaitu penyidikan dan pengadilan juga masih ada kemungkinan bisa dilakukan diversi.
"Kalau sekiranya hingga tahap pengadilan keluarga korban tidak mau adanya diversi maka seperti yang sudah disampaikan tinggal nanti pengadilan memutuskan berapa lama hukumannya," katanya.
Namun menurut Kanya, semangat dari SPPA bukan pada hukumannya untuk pembalasan dendam, tapi ingin mengubah perilaku anak sehingga anak bisa lebih baik. Jika pun nanti dihukum maka anak tidak ditempatkan di lapas tapi di lembaga pembinaan khusus anak.
Ad adalah korban kekerasan dengan pengeroyokan oleh sejumlah siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pontianak, Kalimantan Barat.
Akibat pengeroyokan itu, korban mengalami trauma dan dirawat di rumah sakit. Pemicu pengeroyokan diduga akibat masalah asmara dan saling komentar di media sosial.
Pada Rabu malam (10/4), Kepolisian Resor Kota Pontianak menetapkan tiga murid Sekolah Menengah Atas yang masing-masing berinisial FA atau Ll, TP atau Ar dan NN atau Ec sebagai tersangka dalam perkara penganiayaan terhadap seorang pelajar SMP berinisial Ad di Kota Pontianak.
Polisi menjerat pada tersangka menggunakan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 35/2014 tentang perubahan Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Jika terbukti melanggar ketentuan dalam undang-undang itu, para tersangka bisa kena hukuman penjara tiga tahun enam bulan penjara.
Baca juga: Mendikbud tekankan jangan sampai pelaku-korban terampas masa depannya
Baca juga: Menko PMK minta kasus perundungan Audrey tidak terulang
Baca juga: Gubernur Babel prihatin kasus pengeroyokan Audrey
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019