• Beranda
  • Berita
  • Asosiasi: Pabrik ban terlalu dini, perkuat sektor hulu dahulu

Asosiasi: Pabrik ban terlalu dini, perkuat sektor hulu dahulu

11 April 2019 17:27 WIB
Asosiasi: Pabrik ban terlalu dini, perkuat sektor hulu dahulu
Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia A Aziz Pane berbicara pada acara Diseminasi Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sumsel oleh Bank Indonesia di Palembang, Kamis (11/4). (Antara News Sumsel/Dolly Rosana/19)

Membuat ban itu sekitar 25 persen menggunakan getah karet alam, sisanya ya komponen impor semua..

Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) menilai keinginan pemerintah untuk membangun pabrik ban di sejumlah lokasi daerah penghasil getah karet itu terlalu dini karena Indonesia dinilai belum kuat di sektor hulu.

Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia A Aziz Pane di Palembang, Kamis, mengatakan, bagaimana mungkin membangun sektor hilir, yaitu pabrik ban, yang menguntungkan bagi pengusaha jika bahan utama kimia untuk membuat ban mobil itu malah sebagian besar harus diimpor dari luar negeri.

“Membuat ban itu sekitar 25 persen menggunakan getah karet alam, sisanya ya komponen impor semua, hampir 72 persennya. Saya pikir nanti dulu negara bicara pabrik ban, perkuat dulu hulunya,” kata Aziz dalam acara Diseminasi Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sumsel oleh Bank Indonesia dengan tema "Meningkatkan Penyerapan Karet Rakyat Melalui Hilirisasi Industri Karet Domestik".

Sektor hulu ini sangat penting karena bukan hanya terkait kepastian adanya bahan baku yang baik dan berkualitas tapi juga kepastian ketersediaan bahan-bahan penolong.

“Ini juga patut disayangkan, gas kita sudah dikirim ke Singapura. Tidak kita pakai sendiri. Artinya jika kita mau membangun industri kimia maka harus impor lagi, ini jadi masalah lagi,” kata Aziz.

Menurut dia, hal ini berarti bahwa jika ada perusahaan swasta berminat membuat pabrik ban di Indonesia maka harus menyediakan industri kimianya, karena Indonesia belum mampu seperti China dan India yang memiliki dari hulu-hilir.

Menurut Aziz, kondisi inilah yang membuat investasi pembuatan pabrik ban di Tanah Air tidak pernah menarik bagi kalangan investor asing. Indonesia sebenarnya bukan tidak pernah memiliki pabrik ban sendiri, bahkan di tahun 90-an ada beberapa perusahaan yang beroperasi di Sumatera dan Jawa. Namun, perusahaan-perusahaan ini beralih ke luar negeri setelah krisis moneter 1998.

Oleh karena itu, ia menilai, pemerintah yang harus turun tangan langsung jika ingin mewujudkan pabrik ban ini, yakni dengan membangun sektor hulu industri kimia.

Mengapa harus pemerintah, ia menjelaskan, karena untuk membangun industri hulu ini membutuhkan modal yang besar dan teknologi yang tinggi. Belum lagi tingkat pengembalian keuntungan yang baru didapatkan dalam hitungan puluhan tahun ke depan.

“Hemat kami, pemerintah yang lakukan sendiri, soal pabrik bannya itu pasti ada asal sudah ada hulunya,” kata dia.

Persoalan kompleks

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Edy Sutopo mengatakan persoalan perkebunan karet di Indonesia sangat kompleks sehingga tidak bisa dipandang sepotong-sepotong.

Beberapa persoalan yang nyata seperti tingginya produktivitas yang tidak diikuti dengan kualitas, panjangnya mata rantai, dan persaingan pasar internasional, hingga kini belum dapat diselesaikan.

Apalagi, sejak masuknya dua negara baru yakni Vietnam dan Kamboja selain Indonesia, Thailand dan Malaysia yang membuat kerja sama tiga negara (Indonesia, Thailand dan Malaysia) untuk mengurangi supplai pasar internasional menjadi sia-sia sejak beberapa tahun terakhir.

Namun, pemerintah tidak tinggal diam untuk mengatasi persoalan tingginya produksi dalam negeri 3,1 juta ton per tahun ini, meski langkah yang diambil belum menyelesaikan inti persoalan.

Ia mengatakan saat ini pemerintah mendorong penyerapan karet di dalam negeri sendiri seperti dalam campuran pembuatan aspal yang sejauh ini sudah 12 persen kontennya.

“Meski serapannya masih kecil tapi ini demand baru. Ada suatu harapan, jangan sinis dulu,” kata dia.

Anjloknya harga karet ditingkat petani sejak 2013 hingga kini membuat ribuan petani di Sumatera Selatan menjerit karena harga hanya Rp6.000-Rp7.000 per kilogram dari idealnya di atas Rp12.000 per kilogram. Penurunan harga karet rakyat ini sangat tergantung dengan pasar internasional karena sebagian besar bahan baku ini diekspor ke luar negeri.

Gubernur Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sempat mengungkapkan akan membangun pabrik karet untuk menyelamatkan hidup ribuan pekebun karet yang memanfaatkan 1,3 juta hektare dengan produksi sekitar 1 juta ton per tahun.

Baca juga: GMF-BUMN China bangun pabrik ban pesawat tahun depan
Baca juga: Bridgestone Indonesia punya kantor terintegrasi pabrik yang tahan gempa
Baca juga: PTPN cari mitra untuk bangun pabrik ban




 

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019