"Tetapi saat itu pihak adat dalam hal ini Tete Alex Doga meminta Kodam XVII/Cenderawasih untuk mengomunikasikan dengan semua pemangku kepentingan baik pemkab, pemprov dan kementerian atau lembaga lainnya agar membangun tempatnya, bangun sekolah mulai dari SD hingga perguruan tinggi, pasar dan sentra ekonomi," katanya, di Kota Jayapura, Kamis.
Pernyataan ini disampaikan oleh Kol Inf J Binsar P Sianipar untuk mengklarifikasi berbagai isu atau tuduhan bahwa TNI atau Kodam XVII/Cenderawasih ingin menguasai atau memiliki lahan seluas 90 hektare yang dihibahkan pada akhir September 2018, bersamaan dengan pemberian gelar kepala suku kepada Mayjen G Supit yang saat itu menjadi Pangdam XVII/Cenderawasih.
"Kalau terjadi isu di luar bahwa TNI ingin menguasai, sekali lagi saya mau tegaskan dan luruskkan bahwa tidak ada niat sama sekali untuk memiliki atau menguasai. Bahkan kami tidak pernah melakukan pengukuran tanah atau membuat sertifikat terkait tanah yang dipersoalkan," katanya.
Mengenai pemberian gelar adat kepala suku besar Pegunungan Tengah Papua kepada Mayjen G Supit, Danrem mengungkapkan bahwa hal itu bukanlah permintaan dari TNI atau Kodam XVII/Cenderawasih.
"Tetapi sebaliknya, pihak adat lah yang meminta kepada kami. Bahkan itu lewat diskusi panjang dengan masyarakat, pemuda dan tokoh adat dan agama hingga pada keputusan pemberian gelar adat," katanya lagi.
Jika ditolak, lanjut Danrem, sudah pasti akan timbul ketersinggungan dan sakit hati apalagi ini melibatkan masyarakat dan adat pada saat itu.
"Kami tidak bisa menolak, karena warga bagian dari kami. Jika diberikan, itu merupakan penghargaan luar biasa kepada Pangdam Cenderawasih saat itu Mayjen G Supit. Jadi, kami tidak menolak, tapi menghargai. Jika itu dianggap salah, kami mohon maaf," katanya pula.
Kol Inf J Binsar P Sianipar mempersilahkan jika gelar adat yang diberikan oleh Tete Alex Doga dicabut, hal itu tidak akan dipersoalkan.
Tanah seluas 90 hektare dan pemberian gelar adat kepala suku besar Pegunungan Tengah Papua oleh Kepala Suku Alex Silo Doga kepada Mayjen G Supit saat menjadi Pangdam XVII/Cenderawasih pada September 2018 ternyata menuai protes.
Para wakil pemimpin gereja dan adat di Papua, di antaranya Ketua Sinode KINGMI Papua Pdt Beny Giay, Presiden Gereja Baptis di Tanah Papua Socrates Sofyan Yoman dan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengatakan pengukuhan sebagai kepala suku dan pemberian tanah seluas 90 hektare ditolak dan dibatalkan.
"Hal ini berpotensi menciptakan konflik horizontal antarmasyarakat dan menguntungkan pihak tertentu dan terjadi aksi protes di berbagai daerah. Setelah dilakukan investigasi ternyata ditemukan berbagai hal lainnya," kata Socrates dalam jumpa pers di Kota Jayapura.
Sedangkan, Timotius Murib mengatakan bahwa pemberian gelar kepala suku sebenarnya sudah dilarang.
"MRP sudah keluarkan Maklumat Nomor 03/MRP/XII/2018 dan Nomor 04/MRP/XII/2018 tentang larangan pemberian nama atau gelar adat kepada orang lain di luar pemangku adat dan larangan transaksi jual beli tanah adat kepada pihak lain," kata Timotius Murib.
Terkait persoalan ini, Silo Alex Doga ketika dikonfirmasi menjelaskan bahwa tanah seluas 90 hektare itu diberikan kepada Kodam XVII/Cenderawasih untuk dikelola guna mempercepat pembangunan dan bukan untuk bangun instansi militer.
"Ini tanah turun temurun dari leluhur kami dan merupakan punya saya sebagai kepala suku besar Pegunungan Tengah Papua. Saya berikan kepada Pangdam XVII/Cenderawasih saat itu untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan warga. Bangun sekolah, perguruan tinggi dan lainnya," katanya.
"Soal pemberian gelar adat kepala suku, saya tidak akan mencabut hal itu. Itu telah kami lakukan dan sah," katanya lagi.
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019