"Data sedang diperbaiki. Kita bekerja sama dengan BPS agar ada satu data terpadu. Memang faktanya kami tidak punya data, padahal data tersebut penting," kata Direktur Utama BPDPKS Dono Boestami pada kegiatan pembekalan jurnalis di Jakarta, Senin.
Dono mengungkapkan integrasi dan pembenahan data perlu dilakukan mengingat sejumlah lembaga kerap kali mengeluarkan data luas kebun sawit dan produksi CPO yang berbeda-beda.
Jika mengutip pada data Kementerian Pertanian, luas lahan perkebunan sawit sebesar 14,03 juta hektare (ha), sedangkan BPS mencatat 12-13 juta ha. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun turut mengeluarkan data sebesar 20 juta ha luas perkebunan sawit Indonesia.
Sementara itu, data produksi pada 2018 tercatat 37,8 juta ton dan di sisi lain Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebutkan produksi mencapai 42 juta ton.
Menurut Dono, rumitnya data industri sawit nasional menyerupai data beras. Namun bedanya, data luas dan produksi sawit yang dirilis lebih sedikit daripada kenyataan di lapangan.
"Apalagi sejak moratorium oleh pemerintah, jangan-jangan luas lahannya 'understated' atau dikurang-kurangi. Kita tanya pengusaha, BUMN, yakin tidak yang di HGU sama dengan yang di lahan," katanya.
Perbedaan data ini, tambah Dono, membuat BPDPKS kesulitan dalam menentukan harga minyak kelapa sawit (CPO). Bahkan ketika harga tandan buah segar (TBS) dinyatakan turun, setelah dicek di pabrik ternyata tidak menurun signifikan.
"Memang ada distorsi harga Rp300 sampai Rp400 per kilogram. Tidak salah karena ada mata rantai, tapi mari kita benahi datanya," kata Dono.
***1***
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019