Tak heran jika Kota Palembang, Sumatera Selatan yang pernah menjadi tempat keberadaan Kesultanan Palembang memiliki tradisi penuh makna peninggalan leluhur, yakni “ngidang” atau sering juga disebut “ngobeng”.
Ngidang merupakan tata cara penyajian makanan saat ada acara sedekahan (kendurian) dan pernikahan, yang dilakukan secara lesehan dengan membagi setiap hidangan atau kelompok hanya terdiri atas delapan orang.
Hidangan digelar pada selembar kain dengan tempat nasi berupa nampan ditempatkan pada bagian tengah.
Dalam tiap hidangan itu terdapat beberapa komponen penting selain nasi putih atau nasi minyak yang berada di tengah hidangan, ada “iwak” atau lauk seperti rendang, malbi, opor, ayam kecap, kemudian “pulur” terdiri dari buah-buahan dan sayuran seperti nanas, acar, dan sambal.
Lalu juga disediakan piring dan cangkir. Sementara untuk mencuci tangan, ada petugas khusus yang disebut “ngobeng” yang akan melayani langsung para tamu. Ia membawa ceret air berserta wadah sisa air bilasan.
Dalam penataan makanan ini dilakukan secara silang, yakni iwak diharuskan berdampingan dengan pulur agar tata krama ketika bersantap benar-benar Islami. Para tamu udangan tidak perlu menggerakkan tangan terlalu jauh untuk menjangkau piring lauk pauk.
Uniknya selama proses ini berlangsung, tak henti-hentinya para tamu undangan dilayani oleh ngobeng. Mereka benar-benar akan diperhatikan kebutuhannya, semisal ingin meminta tambahan nasi atau lauk pauk.
Namun, asal tahu saja ketika berada di dalam satu kelompok hidangan maka dengan sendirinya para tamu undangan menjaga perilakunya. Pada umumnya tidak akan mengambil makanan secara berlebihan, karena toh bisa minta ditambah jika masih ingin.
Ini sungguh berbeda dengan tata cara prasmanan ala “prancisan” yang terkadang membuat makanan terbuang percuma (mubazir) lantaran tamu undangan mengambil terlalu banyak.
Belum lagi adanya ketentuan harus mengantre, yang dipandang dalam tradisi Palembang kurang elok dalam memperlakukan tamu.
Memang dalam tradisi ini ada kesan repot karena diperlukan banyak “ngobeng” dan peralatan makan. Namun jika ditelisik lebih dalam, maka di sinilah letaknya membangun budaya gotong royong dan kebersamaan di kalangan umat karena umumnya jiron dan tetangga akan bahu membahu membantu empu rumah.
Pada masa silam, dipastikan anak-anak muda terutama laki-laki dan kalangan orangtua di sekitar kendur akan sigap membantu tuan rumah untuk melayani tamu. Mereka berdiri berjajar secara estapet mengoper pirim-piring kecil makanan yang berisikan lauk pauk. Belum lagi, ada yang sigap membantu mencucikan tangan dan memberikan gelas berisikan air minum.
Kesibukan yang terjadi ini dikenal dengan istilah "besaji" dan "beringkes" atau menghidangkan makanan dan sekaligus merapikan semua kebutuhan.
Saat bersantap bersama dalam satu hidangan ini sudah barang tentu akan muncul suasana akrab karena anggota keluarga yang jarang berjumpa akan bertegur sapa melepaskan kangen.
Tata cara bersantap secara Islami tentunya akan benar-benar terasa dalam tradisi ini. Bagaimana yang muda akan mempersilakan terlebih dulu para orangtua untuk mengambil nasi, sembari menyiapkan piring dan air minumnya.
Sebagai penutup, biasanya yang empu rumah akan mengeluarkan kuliner khas Palembang berasa manis seperti kue serikaya hijau. Saat ini biasanya dimanfaatkan para undangan untuk saling bersenda gurau.
Sebenarnya, eksistensi tradisi ini masih sangat terasa pada era tahun 80-90-an, namun seiring dengan perkembangan zaman mulai luntur. Meski rumah-rumah adat Palembang yang bisa menampung hingga 10 hidangan masih ada, tapi masyarakat mulai beralih pada cara yang lebih praktis ala “prancisan”.
Padahal menyantap hidangan secara bersama-sama ala "ngobeng" ini dinyakini warga keturanan asli Palembang lebih berkat jika dibandingkan cara prasmanan yang mulai akrab pada kehidupan masyarakat modern.
"Justru lebih hemat dan tidak mubazir karena undangan mengambil seperlunya saja, mengingat hidangan dibagi dalam piring-piring kecil. Jadi dinyakini lebih berkat," kata Khadijah, salah seorang warga keturunan asli Palembang seusai menghadiri acara perayaan akikah di kawasan sekitar tempat tinggalnya di 2 Ilir, Minggu.
Ia menuturkan, perbandingan demikian mencolok karena pada sajian prasmanan memperbolehkan tamu mengambil makanan semaunya, tanpa batasan. Terkadang keadaan itu membuat makanan tersia-sia (mubazir) karena penyantap kerap tidak menghabiskannya.
Sementara, ala "ngobeng" menyajikan hidangan seperlunya, semisal dalam satu piring hanya terdiri dari tiga atau empat potong ayam gulai, demikian pula untuk jenis lain.
"Kelihatannya saja rumit karena panitia terlihat sibuk membuat hidangan untuk beberapa orang saja, padahal "ngobeng" itu sederhana dan masih pantas dilakukan untuk zaman sekarang," kata dia.
Aulia, warga lainnya, menilai meski mulai terkikis tapi santapan ala "ngidang" itu tetap lestari di lingkungan masyarakat keturunan Palembang karena menyakini keberkatan yang bakal diterima dari Allah SWT.
Makan bersama dengan duduk bersila di sekitar hidangan itu, dinilai lebih mencerminkan nilai kekeluargaan dan kebersamaan dibandingkan cara prasmanan. Dengan duduk bersila juga bermakna merendahkan diri kepada Sang Pencipta.
"Ketika duduk mengitari hidangan pasti akan bertegur sapa, anak yang usianya lebih muda pasti akan mendahulukan yang tua seperti mengambilkan nasi. Inilah wujud kebersamaan dan saling menghormati," ujar dia.
Budayawan Palembang Andi Syarifuddin mengatakan tradisi "ngidang" ini merupakan peninggalan leluhur yang sangat tinggi nilai kerarifannya. Dalam Islam, tamu merupakan sosok yang harus dihormati dan dimuliakan karena dinyakini kedatangannya akan mendatangkan rejeki karena telah membangun silaturahmi antarumat.
Sebenarnya tradisi ini masih ada di Palembang, tapi kini hanya bertahan di kawasan perkampungan seperti di kawasan Seberang Ulu. Sementara jika sudah memasuki kawasan pusat kota, dan perumahan-perumahan dan kompleks maka bisa dikatakan tidak ditemukan lagi.
"Ini tradisi yang luar biasa tinggi maknanya, bagaimana empu rumah menghormati tamu sedemikian rupa. Tidak ada antri, tidak ada membiarkan tamu menunggu lama, semua dilayani," kata dia.
Namun, ia menyayangkan tradisi ini mulai luntur karena pengaruh masuknya budaya dari luar. Anak-anak muda bahkan banyak yang tidak tahu apa itu "ngidang" atau "ngobeng". Bahkan, bagi anak-anak ini bukan suatu keanehan apalagi canggung ketika mengantri lebih awal dibandingkan dengan orang yang lebih tua darinya dalam budaya makan ala "prancisan".
Sebaiknya pemerintah memiliki perhatian dalam pelestarian tradisi mulia peninggalan nenek moyang ini karena sangat baik dalam pembentukan karakter dan indentitas bangsa sebagai bangsa yang beradab.
Menurut, ustadz Andi Syarifuddin dengan sering memunculkannya di banyak kesempatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Misal dalam acara yang dihadiri pejabat, dapat disuguhi tata cara makan ala ngidang ini, jangan prasmanan terus,” kata Wakil Ketua Yayasan Masjid Agung ini.
Nah, banyak sekali pelajaran berharga dari tradisi "ngidang" atau "ngobeng" ini, salah satunya menumbuhkan keakraban dan rasa persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dengan menerapkan tradisi ini sama saja dengan menjaga persatuan bangsa Indonesia.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2019