Sari merupakan satu-satunya polwan yang diperbantukan Brimob untuk pengamanan penghitungan surat suara Pemilu 2019 di Kota Batam.
Mengenakan pakaian dengan perlindungan tubuh, lengkap dengan senjata laras panjang, Sari tampak gagah. Ia terlihat siap berjuang demi keamanan dan kelancaran proses penghitungan suara di wilayah itu.
Tidak ada yang tahu, sebenarnya hatinya sedang gundah. Putra semata wayangnya, Rasyid, yang baru berusia beberapa bulan, tengah demam hari itu.
"Karena wajib menyelesaikan tugas, menjadi bagian dari tim pengamanan, anak harus saya tinggal," kata istri dari prajurit TNI yang bertugas di Batalyon Infanteri Raider Khusus 136 Tuah Sakti Batam ini.
Sebagai anggota Polri, ia harus rela berkorban dan berjuang demi keamanan negara.
Ia bercerita, sebelum ditugasi menjadi tim pengamanan di PPK, sebenarnya Sari ingin ditugaskan ikut menjaga TPS saat pemungutan suara.
"Sebenarnya inginnya di Pam TPS, ingin lihat orang nyoblos. Tapi ternyata nama saya tidak ada. Saya harus menyesuaikan tugas," kata dia.
Sepanjang hidupnya, ia belum pernah mengikuti pemilu, sehingga ingin tahu bagaimana proses pencoblosan di TPS. Itulah yang mendasari keinginannya menjadi bagian dari pengamanan di TPS.
Meski begitu, ia tetap senang bisa menjadi bagian pengamanan penghitungan suara di tingkat kecamatan itu.
"Di sini, saya baru tahu proses penghitungan, dari TPS ke kecamatan, baru ke kota, ke provinsi dan nasional. Itu baru saya ketahui, ternyata seribet itu," kata dia.
Ibu
Siapa yang menduga, di balik pakaian hitam Brimob dan laras panjang di pundaknya, Sari adalah seorang perempuan keibuan, yang penuh cinta untuk suami dan anaknya? Sifat itulah yang pernah membuatnya dilema, apakah meneruskan karier di Polri, atau menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.
"Saya sempat bicarakan dengan suami, bagaimana kendalanya. Kami punya bayi, dan kami berdua abdi negara. Saya sempat 'down', berfikir, apa 'resign' saja. Kalau rezeki, enggak akan ke mana," kata perempuan asal Jawa Timur itu.
Beberapa hal yang membuatnya berat, antara lain, karena keluarga kecil itu tinggal di perantauan, Kota Batam, tanpa seorang pun sanak saudara.
Apalagi, kala itu ia tidak memiliki pengasuh anak yang dapat dipercaya.
Kekhawatiran dan gambaran akan pengasuh yang jahat, bahkan sampai menyiksa dan membunuh anak, membuatnya berpikir dua kali untuk menggunakan jasa pengasuh.
Namun, beruntung, Sari memiliki suami yang amat mendukung kariernya. Keduanya pun berkomitmen untuk menjaga buah hati bergantian, disesuaikan dengan jadwal kerja masing-masing.
Dan seolah mendapat restu dari alam, tidak lama kemudian Sari pun mendapatkan pengasuh yang dapat dipercaya, setelah 15 kali berganti-ganti orang.
"Saya tekankan pada pengasuh untuk menjaga Rasyid saja. Enggak usah kerjakan pekerjaan rumah, biar saya saja," kata dia.
Alhasil, setiap akhir pekan, perempuan "bersenjata" itu mengerjakan pekerjaan rumah, layaknya perempuan "rumahan" lainnya.
"Sabtu-Minggu saya menyetrika," katanya sambil tersenyum.
Taklukan Cartenz
Bila anda masih membayangkan Sari mengenakan daster sambil menyetrika di rumah, maka berhentilah. Itu hanya selingan dari cerita tangguhnya.
Sari merupakan satu dari 24 perempuan yang berhasil menaklukan Puncak Cartenz di Papua, pada Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2017.
Saat itu, ia masih tergabung di Polda Banten, yang mengutusnya mengikuti seleksi ekspedisi Puncak Gunung Cartenz. Padahal, saat itu ia sudah mengajukan mutasi, agar bisa ditempatkan di Kota Batam, tempat suaminya bertugas.
Dengan izin suami, akhirnya ia mengikuti seleksi, dan mengorbankan rencana untuk pindah ke Batam.
Ia menjalani rangkaian seleksi, mulai dari tes psikologi, jasmani dan endurance.
"Endurance adalah yang paling berat. Saya harus lari dari pukul 16.00 hingga 20.00, dan saya dapat 21 km," kata dia.
Dengan ketahanan fisik yang dimilikinya, ia pun berhasil lolos seleksi, dan harus mengikuti pelatihan di Sukabumi selama empat bulan sebelum ekspedisi dijalani.
Di pusat pelatihan Polri itu, fisiknya kembali digenjot. Bahkan, ia harus menaklukan tiga puncak gunung sekaligus, yaitu Surya Kencana, Gede dan Pangrango.
"Itu berangkat jam 1 malam, pulang jam 1 siang. Setiap dua hari sekali, naik dan turun dengan rute yang sama," ceritanya.
Puncak Cartenz, kata dia, bukan hanya pembuktian fisik, melainkan mental yang kuat. Karena bukan hanya jalannya yang sulit, namun ketinggian dan cuaca yang dingin menjadi tantangan selanjutnya.
Sari bercerita, kala itu dirinya nyaris tidak bisa melanjutkan perjalanan karena sakit. Bahkan, di antara perjalanan panjang itu, ia harus menyeret kaki dan tasnya, karena sudah tidak sanggup lagi berjalan.
Keinginan kuat dan mental baja, membuatnya "nekad" tetap melanjutkan perjalanan, meski tidak mengantongi izin dari petugas kesehatan.
Dalam perjalanan itu, perempuan tangguh ini sempat dihadang badai salju berkali-kali. Mereka pun terpaksa mengenakan pakaian berlapis-lapis untuk menghindari hipotermia.
Mereka pun harus melalui jembatan tali dengan panjang sekitar 5 meter, di antara jurang yang terjal.
"Itu bisa dilalui. Tapi setelah itu kami harus melompat sejauh 5 ubin (ukuran 20 cm). Itu yang membuat saya takut," kata dia bercerita.
Tidak asal lompat, karena yang harus dilompati adalah jurang terjal yang mengancam nyawa.
"Saya sempat nangis, saya bilang ke pelatih, saya belum mau mati, saya belum punya anak," katanya bercerita.
Pelatih menguatkan tekadnya, hingga ia berhasil melalui jurang dan sampai di Puncak Cartenz.
Al Kahfi
"Begitu saya tiba di puncak, saya menangis sejadi-jadinya," kata dia.
Di Puncak Cartenz, ia menunaikan nazarnya, melafalkan hafalan Surat Al Kahfi.
Sebelum berangkat ke Papua, Sari berniat, jika sampai di Puncak Cartenz, ia akan membaca surat Al Kafhi dalam Alquran. Surat itu pula yang menguatkan tekad untuk menaklukkan puncak gunung tertinggi di Indonesia tersebut.
Ia pun berusaha menghafalkan surat dalam Al Quran itu sepanjang masa pelatihan.
"Saya jatuh cinta pada Surat Al Kafhi, karena manfaatnya banyak, surat yang dimuliakan untuk dibaca hari Jumat," kata dia bercerita.
Selain itu, ia percaya, Surat Al Kahfi juga menyelamatkan manusia dari fitnah Dajjal.
Dan setelah menaklukkan Puncak Cartenz, ia memperoleh Rekor Dunia dari MURI, serta pin emas dari Kapolri dan Ibu Negara.
"Ada juga hadiah liburan ke Singapura bareng Kapolri," kata dia.
Komandan Satuan Brimob Polda Kepri Kombes Pol Guruh Arif Darmawan menyatakan Sari adalah kebanggaan di satuannya. Sari adalah satu dari tiga perempuan di dalam satuan itu.
"Dia adalah kebanggan, peraih pin emas dari Kapolri. Satu-satunya perempuan di Kepri yang berhasil menaklukkan Cartenz," kata dia.
Ia berharap Sari dapat mempertahankan prestasinya di Polda Kepri serta mendedikasikan dirinya untuk keamanan masyarakat. (*)
Pewarta: Yuniati Jannatun Naim
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019