"Saat ini yang masih terus diperjuangkan adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga, sehingga diharapkan mendapat mendapatkan perlindungan," ujar Irna, di Medan, Minggu.
Namun, menurut dia, trend yang terjadi adalah banyak perempuan yang kemudian menggunakan dalil Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) itu, untuk hal-hal yang sifatnya non fisik seperti misalnya memesan verbal, sosial dan finansial.
"Untuk kekerasan seksual dalam perkawinan (marital rape) seperti yang diperjuangkan oleh aktivis gender masih belum mendapat persetujuan sepenuhnya, karena Undang-Undang tersebut dinilai disusupi unsur-unsur LGBT," ujar Irna.
Ia menyebutkan, saat ini euforia perayaan Hari Kartini 21 April 2019 sudah tidak sebesar masa-masa sebelumnya.
Hal itu, disebabkan sepertinya perjuangan emansipasi yang dulu didegungkan oleh Ibu Raden Ajeng Kartini sudah lama ter
"Bahkan, jika dibandingkan dengan banyak perempuan dari negara lain, maka kondisi perempuan di Indonesia sudah jauh lebih baikm," ucap Psikolog di Medan itu.
Irna menjelaskan, adanya kesempatan kerja dan pendidikan yang setara dengan laki-laki, serta peluang peluang karir.Dan gaji yang tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan.
Hal menarik lainnya dalam kaitan Hari Kartinia adalah mulai dibandingkannya Raden Ajeng Kartini dengan perempuan-perempuan lainnya dari daerah lain.
Misalnya, banyak yang beranggapan bahwa peran Ibu Dewi Sartika sudah jauh melampaui apa yang dilakuka oleh Ibu Kartini.
Pada saat yang sama, ketika masalah pendidikan menjadi wacana dalam tulisan-tulisan Ibu Kartini, namun Ibu Dewi Sartika malah sudah membangun sekolah putri.
"Demikian pula peran pahlawan dari daerah lain seperti Cut Nyak Dien dari Aceh.Dari daerah lain juga disongsong nama pahlawan perempuan lain seperti Martina Christina Tiahahu dari Maluku," katanya.
Pewarta: Munawar Mandailing
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019