"Buku ini merupakan bentuk literari untuk melengkapi literasi kebencanaan yang dimiliki Indonesia. Selama ini belum banyak upaya literasi soal bencana," kata Lilik saat peluncuran Buku Ekspedisi Palu Koro di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa.
Lilik mengatakan hasil ekspedisi Palu Koro bukanlah sebuah akhir. BNPB menganggap ekspedisi tersebut merupakan upaya literasi kebencanaan karena Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana.
Menurut Lilik, ekspedisi Palu Koro merupakan kegiatan yang mendukung Indonesia sebagai laboratorium bencana untuk memberikan pemahaman kepada semua pihak.
"Masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media massa perlu diberikan pemahaman dan kesiapsiagaan bencana. Juga perlu menggandeng lebih banyak akademisi untuk menggali pengetahuan di tempat-tempat rawan bencana," tuturnya.
Pendiri dan Direktur Yayasan Skala Indonesia Trinirmalaningrum mengatakan waktu yang diperlukan untuk menyiapkan ekspedisi Palu Koro cukup panjang setelah pembentukan forum pengurangan risiko bencana.
"Saat pengembangan forum pengurangan risiko bencana di Sulawesi Tengah, dibicarakan sesar yang memotong Palu. Saya membayangkan masalah yang ditimbulkan, termasuk permasalahan politik, bila sesar itu bergerak," katanya.
Trinirmalaningrum mengatakan ekspedisi Palu Koro juga melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu.
"Tidak hanya geologi, tetapi juga perlu ilmu-ilmu lain seperti ekologi, antropologi, arkeologi dan sejarah. Menyatukannya juga tidak mudah karena ada perdebatan," jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Burhanuddin Nur mengatakan saat terjadi bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, ilmu geologi menjadi perhatian banyak masyarakat Indonesia.
"Tantangannya kemudian adalah bagaimana memberi pemahaman kepada masyarakat dan pengambil keputusan agar mau berinvestasi di bidang kesiapsiagaan bencana," katanya.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019