Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Center for Democracy and Civilization Studies (CDCS) Alip Dian Pratama di Palembang, Selasa, mengatakan negara yang demokrasinya matang seperti Amerika Serikat tetap memilih sistem pemilu berjenjang dari pemilihan legislatif, senat dan presiden agar memudahkan penyelenggara.
"Sementara Indonesia yang umur demokrasinya baru dimulai dari 1998 sudah mengadakan pemilu serentak, ini agak tergesa-gesa," ujar Alip Dian kepada ANTARA.
Menurutnya esensi pemilu terletak pada proses rekrutmen tokoh-tokoh politik dan kualitas penyelenggaraannya, bukan pada keserentakannya, jika dipaksakan serentak maka akan membebani penyelenggara (KPU).
Ia mendorong penyelenggaraan pemilu pada 2024 dipisahkan antara pileg dan pilpres, sebaliknya ia melihat pemilu sebelumnya (2014) sudah proporsional dari segi teknis serta pelaksanaan, sehingga sebaiknya kembali ke sistem Pemilu 2014.
Pemilu serentak sangat membebani penyelenggara karena fungsi input data, klarifikasi data, transfer, distribusi, edukasi dan sosialisasi diserahkan sepenuhnya kepada KPU, secara otomatis beban menjadi bertambah-tambah.
"Apalagi KPU tentu punya keterbatasan dalam teknis dan waktu," katanya.
Pemisahan pileg dan pilres juga untuk menghindari banyaknya jatuh korban jiwa yakni petugas KPPS dan aparat keamanan akibat beban kerja yang menuntut kecepatan serta ketepatan, sedangkan tenaga di tingkat TPS/KPPS kebanyakan kurang memperhatikan faktor usia.
"Rata-rata petugas di TPS/KPPS sudah berusia menengah ke atas, secara fisik mereka tidak terlalu fit dan rentan memiliki tingkat stres lebih tinggi, apalagi misalnya tidak terbiasa dengan ritme kerja yang berat, maka akhirnya korban jiwa tidak bisa dihindari," jelasnya.
Selain membebani KPU, pemilu serentak diamatinya berpotensi merugikan partai politik karena tidak adil dan proporsional, membuat kontestasi partai politik tidak dijadikan tolak ukur pemilihan presiden.
Pada Pemilu 2014, pemilihan legislatif dijadikan tolak ukur pemilihan presiden, namun pada Pemilu 2019 tolak ukur pemilihan presiden dilihat dari Pemilu 2014, sedangkan pemilihan legislatif tidak mendapat panggung.
"Hanya partai-partai pengusung capres dan cawapreslah yang kemudian mendapat 'coctail effect', jadi yang tidak mengusungkan bisa tidak dapat suara," kata Alip Dian Pratama.
Pemilu 2019 sebagai pengalaman pertama Indonesia menyelenggarakan pemilu serentak ternyata menimbulkan banyak permasalahan, pemerintah perlu mengevaluasi kembali wacana penggabungan pilkada, pileg dan pilpres serentak pada 2024, dikhawatirkan jika dipaksakan akan semakin menimbulkan banyak korban jiwa, katanya.
Pewarta: Aziz Munajar
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019