Perlahan-lahan buat produk farmasi sendiri

25 April 2019 06:32 WIB
Perlahan-lahan buat produk farmasi sendiri
Seorang petugas sedang mengerjakan pembuatan produk rapid test tahap awal di fasilitas produksi rapid test Kimia Farma Denpasar, Selasa (23/4/2019). (ANTARA/Aditya Ramadhan)
Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Selasa (23/4) menyempatkan berkunjung ke fasilitas produksi "rapid test" Kimia Farma di Denpasar, Bali, yang baru beroperasi sejak awal 2018.

Usai meninjau lokasi, Nila menyampaikan rasa bangganya bahwa di Indonesia sudah bisa memiliki fasilitas produksi untuk produk farmasi berupa rapid test atau alat yang dapat mengecek dan mengetahui status atau kondisi kesehatan secara cepat.

Menurut dia, BUMN industri obat Indonesia yang sudah bisa memproduksi secara mandiri produk farmasi rapid test merupakan sebuah kemajuan.

PT Kimia Farma (Persero) Tbk memiliki fasilitas produksi rapid test yang berlokasi di Denpasar untuk mendukung kegiatan manufaktur perseroan dalam memproduksi alat diagnostik rapid test skala industri di Indonesia.

Fasilitas produksi atau pabrik seluas 375 meter persegi itu telah memproduksi alat diagnostik rapid test yang juga telah mendapatkan izin edar berupa tes kehamilan (hCG test), tes hepatitis (HBsAg test), tes sifilis, tes malaria, dan tes dengue (IgG/IgM test). Meski dalam ukuran fasilitas produksi tidak terlihat terlalu besar, namun kapasitas produksinya mampu memenuhi seluruh kebutuhan di Indonesia.

Pabrik rapid test Kimia Farma merupakan fasilitas produksi pertama yang ada di Indonesia dalam skala pabrik. Sebelumnya memang sudah ada fasilitas serupa dari perusahaan lain, namun masih dalam skala laboratorium.

Produk-produk seperti yang disebutkan juga bukanlah barang baru, namun selama ini produk-produk tersebut masih bergantung pada impor dari luar negeri.

Di sinilah penekanannya bahwa Indonesia secara perlahan-lahan berupaya untuk berdikari di bidang industri farmasi. Mengingat industri farmasi di Indonesia masih lebih banyak bergantung pada produk impor. Sebut saja produk bahan baku obat yang 90 persennya masih impor.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto menyebutkan industri farmasi masih mengimpor bahan baku obat hingga 4 miliar Dolar AS dan dalam bentuk obat jadi mencapai 800 juta Dolar AS per tahun.

Meski masih terkendala dengan bahan baku obat, industri farmasi di Indonesia, baik yang milik negara ataupun swasta, telah mampu memenuhi 75 persen kebutuhan obat dalam negeri. Di bidang produk alat kesehatan pun berbagai produk lokal sudah menguasai lebih dari 50 persen kebutuhan alat kesehatan atau alkes dari seluruh rumah sakit.

Baik badan usaha milik negara maupun perusahaan produsen obat-obatan swasta di Indonesia juga sudah banyak yang mengekspor obat jadi ke berbagai negara. Bahkan, produk-produk vaksin dan serum yang dihasilkan oleh BUMN produsen vaksin Bio Farma rutin diekspor ke lebih dari 140 negara di dunia.

Terlebih lagi, perusahaan produsen vaksin yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat, itu pun menjadi pusat unggulan sejumlah negara-negara Islam dalam pengembangan produk-produk vaksin dan serum.

Kimia Farma sendiri sebenarnya sudah mulai membangun pabrik untuk memproduksi bahan baku obat sendiri sejak 2016, dengan menggandeng perusahaan dari Korea Selatan. Selain itu perusahaan produsen obat PT Kalbe Farma Tbk melalui anak usahanya PT Kalbio Global Medika juga sudah menyusul membangun pabrik bahan baku obat di Cikarang pada awal 2018.

Sementara di bahan baku produk rapid test yang dibuat oleh Kimia Farma di Denpasar, Bali, ini pun juga 75 persennya masih mengandalkan impor. Namun Kepala Pabrik Rapid Test Kimia Farma Bali Wiji Julian mengatakan saat ini pihaknya bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan peneliti dari Universitas Andalas Padang tengah mengembangkan bahan baku test kit untuk antibodi monoklonal lokal untuk virus Dengue NS1 dan untuk antibodi monoklonal lainnya.

Menkes Nila Moeloek memberikan penekanan tentang pentingnya alat diagnostik rapid test untuk mengetahui penyakit demam berdarah dengue (DBD) mengingat kasusnya yang tak pernah habis di Indonesia.

Dia mengatakan tidak sedikit kasus DBD yang berujung pada kematian dikarenakan terlambat dalam memberikan penanganan lantaran telat dalam mendeteksi kasus.

Produk rapid test untuk DBD ini dinilai akan sangat membantu bagi petugas kesehatan di laboratorium untuk mengetahui kondisi seseorang, apakah benar positif DBD atau hanya gejala lain.

“Ini karya anak kita sendiri. Masalah nyamuk (DBD) sulit, tapi kalau diagnosa dengan cepat kita obatinya cepat,” kata Nila.

Berbagai produk rapid test dari Kimia Farma tersebut di atas juga sudah terdaftar di e-katalog untuk keperluan pengadaan alat diagnostik di berbagai fasilitas kesehatan, atau menjadi obat yang digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Namun untuk saat ini baru dua jenis alat tes diagnostik yang baru tersedia dalam formularium nasional dalam e-katalog, yakni untuk tes kehamilan dan tes hepatitis.

Kimia Farma juga masih mengembangkan dua jenis alat diagnostik, yaitu untuk tes HIV 1 dan 2 serta drug test. Tes diagnostik bisa mengetahui tujuh kandungan obat-obatan narkotika yang terdiri dari morphine test, cocaine test, marijuana test, amphetamine test, methamphetamine test, ecstasy test, dan benzodiazepine test.

“Ini kemajuan yang kita inginkan. Kita tidak perlu lagi impor untuk alat kesehatan,” kata Menkes Nila. (*)

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019