Dalam konteks tersebut, doktor Political Geography University of Leeds, Inggris yang dihubungi dari Bandarlampung, Kamis, memberikan beberapa catatan terhadap Pemilu 2019.
Pertama, terkait terbelah masyarakat oleh sebab pilihan politik, menurut dia, tidak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan. Justru perdebatan politik di masyarakat akan sangat produktif untuk mendorong demokrasi Indonesia menjadi lebih dewasa.
"Karena dengan perdebatan di ruang publik tersebut, masyarakat akan memperoleh alternatif pilihan pengetahuan terhadap pilihan politik yang 'dynamics' sekaligus 'contested' tersebut," kata dosen Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Unila itu pula.
Mengenai isu hoaks dari perdebatan tersebut, menurut Arizka, pascapemilu ada jeda ruang dan waktu bagi semua pihak untuk melakukan refleksi diri, sehingga ke depan jeda ruang dan waktu untuk melakukan refleksi ini akan menghasilkan pemilih yang lebih berpengetahuan terhadap isu sejenis pada pemilu berikutnya.
"Akan menjadi catatan, menghadapi hoaks bukan dengan menghentikannya dan itu tidak bisa, akan tetapi mengguyurnya dengan informasi dan pengetahuan yang akurat dan lebih masif ketimbang berita hoaks itu sendiri," kata dia.
Selanjutnya, soal kampanye pemilu yang panjang, dia justru tidak sependapat dengan pandangan sebagian besar elit partai yang menyatakan bahwa jadwal kampanye yang panjang menyebabkan masyarakat menjadi terbelah.
"Sejauh pemantauan saya, masyarakat tidak ada yang terbelah dan kalau pun terbelah itu hanya sebatas ruang pemikiran dan itu biasa saja dalam alam demokrasi. Sebaliknya debat-debat politik di ruang publik mesti lebih digagas," ujarnya lagi.
Arizka menjelaskan, argumen terbelah itu disebabkan karena tidak adanya tradisi berdebat warga negara dalam ruang publik yang seharusnya bisa menjadi faktor pemicu atau trigger factor pendewasaan kehidupan berdemokrasi bangsa.
Secara teknis misalkan, dia mengusulkan dua tahun menjelang pemilu, kampanye sudah dimulai, didahului dengan konvensi di internal partai politik mengenai siapa saja yang akan dicalonkan baik sebagai capres, cawapres, cagub, cabup, calon legislatif dan lainnya.
Perdebatan di internal partai justru akan menyegarkan memori masyarakat mengenai siapa yang layak akan dipilih sehingga voter akan lebih rasional dan tidak termakan isu hoaks ataupun kampanye hitam oleh sebab profil para calon sudah mewarnai ruang publik jauh sebelum pemilu berlangsung.
Sementara soal pemilu yang disatukan, menurutnya pemilu dengan 5 level pemilihan ini menguras energi dan secara teknis akan menyulitkan, dan bagaimana jika ditambahkan lagi dua pilkada (provinsi dan kabupaten/kota) pada Pemilu 2024. Ada usulan misalkan pemilu sebaiknya terbagi dalam dua level pemilihan, nasional dan daerah.
"Saya melihat pemilu model tersebut tidak akan ringkas dan sebaliknya saya sepakat jika Pemilu 2024 dilaksanakan 7 level sekaligus, sehingga masyarakat akan melakukan tujuh kali pilihan politik, cepat dan sederhana," kata dia.
Menurutnya lagi, persoalan pokok sebenarnya bukan banyaknya level pemilu yang harus dipilih oleh rakyat akan tetapi persoalan sistem proporsional terbuka suara terbanyak yang membuat semuanya menjadi terlihat repot dengan banyaknya nama calon dan lainnya.
"Saya justru mendorong pemilihan legislatif kembali menggunakan proporsional tertutup, bukan seperti sekarang proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Proporsional tertutup adalah pilihan ideal jika kita menghindari sistem first past the post karena dianggap tidak akomodatif terhadap minoritas, walau dalam konteks Indonesia argumen ini mesti perlu dikaji lebih lanjut," kata dia.
Ia juga menilai, metode pemilihan DPD-RI mesti ditinjau ulang dan jangan hanya memperhatikan aspek popular vote-ansich. Anggota DPD-RI mesti bisa mewakili keterpilihan di seluruh kabupaten/kota secara proporsional.
Arizka pun melihat soal pelaksanaan teknis pemilu yang terlihat kedodoran dan memahami akan kesulitan penyelenggara.
"Belum lagi selama ini framing kita terhadap pemilu terlalu political dan administrative-ansih dan selalu mengabaikan dampak elektoral dan teknis akibat keadaan geografis dan demografis dan wajar saja setiap pemilu persoalan pokok pemilu itu-itu saja," kata dia pula.
Pewarta: Triono Subagyo
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019