Ungkapan itu dikemukakan sang maestro seni patung Nyoman Nuarta ketika berdialog dengan puluhan pimpinan media massa, pimpinan dan staf Humas Setdaprov Bali, di taman seni miliknya "NuArt Sculpture Park" di Jalan Setraduta Raya L-6, Sarijadi, Bandung, Jawa Barat, 24 April 2019.
Pematung asal Kabupaten Tabanan, Bali, yang menempuh studi dan menetap di Bandung itu menyebutkan seni budaya adalah kata kunci untuk penopang perekonomian bangsa pada masa depan, karenanya pengembangan seni budaya merupakan keniscayaan yang tak dapat ditawar.
"Pengembangan seni budaya yang di sini dikatakan dengan Nu-Art (new art) atau seni baru adalah mengolaborasikan seni dengan teknologi. Kalau seni hanya untuk seni akan sulit berkembang, tapi kalau seni dipadu dengan teknologi akan melahirkan kreasi dan spirit enterpreneurship," ucapnya.
Semangat "Nu-Art" atau seni baru atau seni+teknologi (seni berteknologi) itulah yang disuarakan sang maestro untuk bangsa Indonesia, khususnya Bali. "Kalau seni hanya untuk seni akan sulit berkembang dan bahkan akhirnya akan bisa mati," tuturnya di ruang teater Nu-Art.
Oleh karena itu, seni berteknologi merupakan keniscayaan yang mutlak untuk mendorong pengembangan seni dan budaya, sehingga seni dan budaya akan menjadi lestari dan menjadi semakin baik serta menumbuhkan identitas bangsa yang semakin kuat.
"Kalau selama ini, seniman mengembangkan dunia seni dan budaya dengan swadaya (mandiri), maka daya tahan berkesenian akan sangat rentan, tapi dengan perpaduan seni dan teknologi akan melahirkan seni yang berkualitas, bernilai ekonomis, dan bebas berkembang," katanya.
Sang perupa yang menggagas Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, itu, tidak hanya bicara, namun Nu-Art yang disuarakan itu dapat disaksikan langsung di taman seni miliknya yang seluas 3,5 hektare itu.
"Karya-karya saya yang besar itu menggunakan teknologi bahan yang kuat secara struktur arsitektur, sedangkan pengelasan juga dilakukan mereka yang ahli di bidangnya. Untuk GWK, saya juga lakukan sertifikasi kekuatan bahan kepada lembaga internasional yang menyimpulkan GWK berkekuatan 100 tahun," katanya.
Sejumlah karya dapat dinikmati di NuArt Sculpture Park Bandung yang memiliki ruang galeri untuk pameran, ruang museum yang memajang karya-karya Nu-Art, dan kafe yang menyajikan makanan dan minuman tradisional, termasuk kopi.
Ada pula, ruang teater sekaligus ruang dialog, amphitheatre untuk ruang pertunjukan berbagai jenis kesenian, ruang workshop untuk belajar dasar-dasar membuat patung dari tanah liat, atau melukis topeng-bakiak, dan sudut-sudut foto/video untuk berbagai kepentingan, seperti shoting dan pre-wed.
"Dalam satu bulan ada sekitar 4.000 pengunjung yang ke taman ini, baik pelajar maupun mahasiswa dari berbagai sekolah dan kampus dari negara-negara di kawasan Asia. Ada pula turis dari Eropa," kata Direktur Operasional NuArt Sculpture Park Agus Sudrajat.
Namun, kata salah satu dari 260 orang karyawan sang maestro itu, taman/museum seni yang juga "kantor" dari sang maestro patung itu tidak bersifat komersial. "Pak Nyoman Nuarta membangun taman seni atau museum seni itu lebih bersifat edukasi, karena biaya operasionalnya justru banyak ditopang aktivitas seni Pak Nyoman Nuarta," katanya.
Hal itu dibenarkan sang maestro. "Saya 'kan punya banyak karya patung yang berukuran besar, ya, saya parkir di sini saja. Melihat saja, ya, silakan. Kalau berminat, ya, silakan," ujar Nyoman Nuarta, sambil menunjuk ke arah miniatur GWK, miniatur Candi Borobudur, Burung Dedari, dan puluhan karya lainnya.
Tidak hanya itu, pematung Nyoman Nuarta juga memiliki banyak proyek, seperti hotel, bandara, patung ikon, dan sebagainya. "Hotel yang kami rancang itu dari sisi tampak depan berwajah Garuda, tapi sisi bagian belakangnya merupakan bangunan bertingkat. Jadi, seni dan teknologi yang berdampak ekonomis," katanya.
Dana abadi
Terkait Nu-Art yang disuarakan untuk mengembangkan seni yang mengandung unsur teknologi itu, pematung Nyoman Nuarta mengajak seniman, budayawan, birokrat, dan jajaran media massa untuk memikirkan pengembangan seni dan budaya yang bukan untuk saat ini saja, namun untuk Bali pada masa depan.
"Bersama sejumlah seniman dan Gubernur Bali Wayan Koster, saya meminta Presiden Joko Widodo agar menyediakan dana abadi untuk seni dan budaya. Seni dan budaya itu memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan negara, namun posisinya masih 'dianaktirikan' sehingga sulit berkembang. Kami bersyukur, karena Presiden menjanjikan dana abadi itu," katanya.
Kepada puluhan pimpinan media dari Bali yang dipimpin Asisten II (Administrasi dan Umum) Setdaprov Bali I Wayan Suarjana dan Kabiro Humas Setdaprov Bali A.A. Ngurah Oka Sutha Diana itu, ia menjelaskan dana abadi yang disiapkan pemerintah itu mencapai Rp5 triliun untuk sektor pariwisata dengan Rp800 miliar diantaranya untuk seni dan kebudayaan.
"Presiden menyampaikan janji itu saat menerima puluhan seniman dan budayawan di Istana Negara, kemudian Gubernur Wayan Koster juga melakukan negosiasi kepada Presiden terkait pentingnya anggaran seni dan kebudayaan itu. Presiden sendiri menargetkan realisasi dana abadi itu setelah Pemilu," katanya.
Bahkan, Presiden Jokowi juga menjanjikan akan menambah dana abadi itu dalam setiap tahun hingga mencapai angka Rp40 triliun. Presiden juga meminta dana abadi itu tidak dikelola birokrasi, namun lembaga khusus yang melibatkan seniman dan budayawan, agar semuanya tidak berlangsung birokratis dan tepat sasaran.
"Saya kira janji Presiden itu sangat wajar, karena 60 persen dari pendapatan negara senilai Rp220 triliun berasal dari sektor budaya dan pariwisata dan 40 persen dari 60 persen itu merupakan kontribusi dari Bali, maka itu kalau Bali selama ini hanya mendapatkan Rp400 miliar itu terlalu kecil," katanya.
Menurut pematung alumnus ITB itu, dana abadi itu sangat penting untuk mengembangkan seni dan budaya dari hulu ke hilir, sehingga kontribusinya juga akan semakin meningkat. "Kalau pengembangan budaya lokal atau seni pertunjukan itu secara swadaya akan sulit bergairah, karena kemampuan masyarakat juga terbatas," katanya.
Baginya, dana abadi itu sangat strategis di era globalisasi pariwisata, karena seni budaya adalah identitas bangsa dan akan menjadi keunggulan bangsa di tengah pergaulan bangsa-bangsa di dunia. "Banyak potensi seni dan budaya di Bali, karena itu tidak ada artinya bila potensi yang ada tidak memberikan yang terbaik bagi Bali, atau orang malah meninggalkan Bali," katanya.
Sentuhan teknologi
Dalam kunjungan ke Bandung, 23-25 April 2019 yang juga diikuti Kasi Sumber Daya Komunikasi Publik dari Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Bali, Ida Bagus Ketut Agung Ludra (IBKA Ludra) itu, tim media dan Humas dari Bali juga mempelajari kolaborasi antara "kehumasan" dengan teknologi (digital) yang digagas Humas Pemprov Jabar untuk mendekatkan humas-publik.
"Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang berkisar 5,6 pada 2018 kini memiliki tantangan berupa pengangguran dan kemiskinan. Dalam kepemimpinan selama tujuh bulan, Gubernur Ridwan Kamil meminta kami dari humas untuk mendukung 'kreasi' beliau dalam pelayanan publik berupa program 37 juara yang umumnya memiliki sentuhan teknologi, apalagi beliau sangat tidak ingin ada jarak dengan masyarakat," kata Kabiro Humas dan Protokol Jabar, Hermansyah.
Untuk kreasi layanan dengan sentuhan teknologi itulah, Kabag Humas Sekretaris Daerah Provinsi Jabar Azis Zulficar menambahkan pihaknya berusaha mengikuti kinerja Gubernur yang memiliki 13,4 juta pengikut itu, di antaranya membentuk tim kreatif yang menangani desain media daring, media sosial, agenda setting untuk media, dan sebagainya.
"Kami juga melakukan sosialisasi program melalui jaringan TV 'West Java Network' bekerja sama dengan First Media, Japri atau Jabar Punya Informasi yang melayani konferensi pers dengan melibatkan OPD dengan isu-isu terencana, Jabar Quick Response yang menangani pengaduan masyarakat lewat medsos gubernur, dan menjawab kritik media dengan data, serta program lain," katanya.
Kreasi lain, Azis Zulficar mengajak rombongan dari Bali untuk mengelilingi museum di Gedung Sate Pemprov Jabar yang merupakan museum yang ditata dengan sentuhan teknologi seperti Nu-Art, bahkan di dalamnya juga mengenalkan "diplomasi kopi" di provinsi setempat.
"Gubernur Ridwan selalu melakukan yang disebutnya dengan 'diplomasi kopi' saat menerima tamu dari negara lain atau sedang mengunjungi negara lain. Kopi Jabar selalu jadi topik awal sebelum agenda resmi yang ada dibahas atau kerja sama ditandatangani secara seremonial. Jadi, bicara kopi Bandung dulu, baru lainnya," katanya, tersenyum.
Hal itu mendorong pembenahan tim Humas Pemprov Jabar dalam hal kinerja dan anggaran kehumasan. Kini, Pemprov Jabar menerapkan pola kerja 24 jam secara bergiliran dengan anggaran sebesar Rp50 miliar yang mayoritas dialokasikan untuk kerja sama dengan media massa.
"Namun, bila hanya mengandalkan anggaran pemerintahan akan kurang, karena itu sumber dana juga sebagian berasal dari 'CSR' perusahaan yang sering kali dibantu oleh Gubernur yang memiliki jejaring cukup luas, namun semuanya dilakukan secara profesional," paparnya.
Kendati banyak kreasi, bukan berarti tanpa kendala. "Kendala utamanya adalah mengubah pola pikir (mindset) PNS yang lamban untuk mengikuti gerak langkah Gubernur. Tujuh bulan, kami seringkali mengontrak tenaga muda yang energik agar program bisa jalan, sedangkan generasi tua tetap berfungsi sebagai tim pengarah sesuai pengalamannya selama ini," katanya.
Ya, sentuhan teknologi untuk seni, kehumasan, dan bidang-bidang lain agaknya menjadi "kata kunci" untuk bisa berkembang pada era digitalisasi yang serba mudah, cepat, dan bebas itu. Paling tidak, hal itu sudah dibuktikan oleh sang maestro patung Nyoman Nuarta dan Tim Humas Pemprov Jabar.
Hal itu menjadi "kata kunci" bagi media massa dan Biro Humas Pemprov Bali untuk mengembangkan program kreatif sesuai bidangnya. "Kita bisa saling belajar dengan Humas Pemprov Jabar, karena Gubernur Wayan Koster, juga punya program digitalisasi hingga tingkat desa yang nantinya bisa mendukung program kreatif," kata Asisten III Setdaprov Bali I Wayan Suarjana.
Senada dengan itu, Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretaris Daerah Provinsi Bali A.A. Ngurah Oka Sutha Diana menjelaskan kunjungan yang dilakukan memang didorong keinginan untuk belajar kepada daerah lain, apalagi Bali sendiri selama ini bertumpu pada sektor pariwisata yang juga memiliki potensi industri kreatif yang tinggal dikembangkan sesuai kondisi masing-masing kabupaten.
"Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali mencatat potensi industri kreatif yang bisa dikembangkan sebagai produk unggulan Bali antara lain tekstil, ikan dalam kaleng, ikan tuna, kerajinan kayu, kerajinan perak, kerajinan logam, kerajinan anyaman, kopi, dan manggis. Itu bisa dikembangkan untuk ekspor, seperti kopi yang hampir ada di seluruh kabupaten," katanya.
Faktanya, potensi industri kreatif itu juga menyebar pada seluruh kabupaten dengan jumlah unit usaha kecil dan menengah juga berkembang terus yakni 12.084 unit usaha pada tahun 2014, 12.326 unit usaha (2015), 12.730 unit usaha (2016), 14.992 unit usaha (2017), dan 15.216 unit usaha pada tahun 2018.
Tentu, potensi yang ada akan lebih berkembang lagi bila disertai dengan sentuhan teknologi, seperti yang dibuktikan oleh sang maestro patung asal Bali, apalagi bila pemerintah memberi dukungan dalam anggaran dan pembinaan, maka industri kreatif dari Indonesia (Bali) akan mendunia.*
Baca juga: Nyoman Nuarta: Presiden siapkan dana abadi untuk seni-budaya
Baca juga: Nyoman Nuarta akan boyong puluhan karyanya ke China
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019