Jakarta, 27 November 2007 (ANTARA) - Pada Rakorgab Dephut dan Depnakertrans pada tanggal 27 November 2007, Menteri Kehutanan dan Menakertrans akan menandatangani Peraturan Bersama tentang Pelepasan Kawasan Hutan dalam rangka Penyelenggaraan Transmigrasi sebagai pengganti SKB Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dan Menhut tahun 1994. Pembangunan Transmigrasi memerlukan lahan kawasan hutan secara permanent. Sementara kawasan hutan telah ditetapkan dalam fungsi-fungsi dan status sebagai kawasan Hutan Lindung, Hutan Konservasi, dan Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Dari kawasan hutan yang telah ditetapkan terdapat kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) sebagai wujud komitmen Dephut dalam pembangunan non-kehutanan. Dalam kegiatan pembangunan non-kehutanan inilah sering terjadi konflik kepentingan, terutama konflik dalam tujuan pemanfaatan lahan, karena adanya perbedaan persepsi antar pemangku kepentingan pada kawasan hutan.
Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan transmigrasi, berdasarkan sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan peraturan yang berlaku di bidang kehutanan, maka penyediaan lahan kawasan hutan untuk pembangunan transmigrasi dialokasikan pada Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) melalui pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan.
Pembangunan transmigrasi pada kawasan hutan diharapkan dapat menghasilkan perubahan berupa peningkatan kualitas dan kuantitas pada empat (4) sumberdaya, yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, sumberdaya alam, dan sumberdaya sosial, secara simultan. Yang terjadi selama ini, peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan selalu menimbulkan turunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya alam, khususnya hutan. Inilah tantangan ke depan pada pembangunan transmigrasi di kawasan hutan, untuk sekaligus dapat meningkatkan kualitas sumberdaya hutan dan sumberdaya sosial.
Peruntukan kawasan hutan bagi pengembangan transmigrasi yang telah dilakukan melalui pelepasan kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), pemanfaatannya belum efisien dan optimal. Masih terdapat pembukaan dan penempatan transmigran pada kawasan hutan tidak sesuai dengan areal yang dilepaskan, belum dipenuhinya kewajiban penyediaan areal pengganti, terdapat tumpang tindih dengan kawasan hutan tetap, bahkan ada yang pada areal hutan yang belum ada pelepasannya.
Kegiatan pelepasan areal hutan untuk pemukiman transmigrasi diatur dalam keputusan bersama (SKB) Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan dan Menteri Kehutanan, nomor : SKB 126/MEN/1994 dan nomor : 422/Kpts-II/1994 tanggal 27 September 1994, dengan ketentuan pokok :
a. Areal hutan yang dapat dilepas untuk pembangunan pemukiman transmigrasi adalah hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
b. Areal HPK yang akan dilepas diutamakan areal yang tidak berhutan (semak, belukar, alang-alang, dan tanah terbuka).
Kondisi kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi secara umum sebagai berikut :
a. Beberapa lokasi yang diajukan persetujuan prinsip pelepasan kawasan untuk pemukiman transmigrasi merupakan kawasan hutan produksi, sehingga tidak disetujui atau ditolak.
b. Berdasarkan pertimbangan aspek kemanusiaan, terdapat lokasi transmigrasi yang statusnya hutan produksi, dapat disetujui dengan kewajiban menyediakan areal pengganti.
Peraturan yang mengatur peruntukan kawasan hutan bagi pembangunan pemukiman transmigrasi yang ada dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB) antara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Kehutanan, sudah tidak sesuai lagi pada era otonomi daerah saat ini, sehingga perlu diperbaharui dengan penandatanganan peraturan bersama Menteri Kehutanan dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang pelepasan hutan dalam rangka penyelenggaraan transmigrasi.
Rakorgab ini merupakan media yang strategis untuk berdiskusi, bertukar pikiran secara cerdas, menyamakan persepsi, dan membangun komitmen, dalam merumuskan berbagai solusi penyelesaian masalah pembangunan transmigrasi pada kawasan hutan, menjadi rumusan kebijakan dan program yang responsif dan inovatif. Dengan demikian diharapkan mampu mengantarkan masyarakat transmigran dan sekitarnya menjadi lebih sejahtera, dan sekaligus dapat meningkatkan potensi dan fungsi sumberdaya hutan.
Penyelesaian permasalahan pembangunan transmigrasi dalam kawasan hutan :
a. Ditempuh melalui mekanisme sesuai ketentuan yang berlaku berdasarkan pertimbangan berbagai aspek. Kebijakan pemutihan yang pernah digulirkan pada tahun 1990 dalam menyelesaikan permasalahan pembangunan transmigrasi di kawasan hutan, sejak tahun 2007 dihentikan.
b. Pemukiman transmigrasi di sekitar dan di dalam kawasan hutan produksi dapat diintegrasikan dengan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dengan jenis tanaman cepat tumbuh. Dengan demikian, warga transmigran dapat memperoleh pendapatan yang jauh lebih baik, dengan jaminan usaha sampai 100 tahun, tanpa mengubah status dan fungsi kawasan hutan.
c. Pemukiman transmigrasi yang ternyata berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, setelah dinilai melalui pengkajian mendalam ternyata dapat berdampak negatif terhadap terganggunya sistem penyangga kehidupan, perlindungan dan pelestarian plasma nutfah, perlu segera diupayakan jalan terbaik melalui relokasi ke lokasi lain yang benar, serta menjamin dapat lebih memberikan kelayakan dan kesejahteraan hidup transmigran.
d. Perlu segera dilakukan kerjasama yang intensif antara Departemen Kehutanan dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mempercepat penyelesaian pelepasan kawasan hutan lokasi pemukiman transmigrasi, yang telah mendapat persetujuan prinsip pelepasan kawasan yang berjumlah 436 lokasi dengan luas areal kurang lebih 605.203 hektar.
Kondisi permasalahan pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi yang ada selama ini :
a. 436 lokasi pemukiman transmigrasi yang telah mendapat persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan, belum ditata batas di lapangan.
b. Ada beberapa lokasi yang disetujui secara prinsip, namun lahannya tidak dapat dikembangkan untuk pemukiman transmigrasi.
c. Belum dipenuhinya kewajiban penyediaan areal pengganti terhadap 26 lokasi pemukiman transmigrasi yang telah disetujui secara prinsip pelepasan kawasan hutannya.
d. 39 lokasi pemukiman transmigrasi tumpang tindih dengan kawasan hutan tetap, yang sebagian besar telah dibangun pada tahun 1999 - 2003.
e. Pemukiman transmigrasi pola HTI-trans dan transmigrasi hutan rakyat, belum terselesaikan status kawasan hutannya, dan ada kewajiban pihak investor yang tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
Untuk keterangan tambahan, silakan hubungi Achmad Fauzi, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Telp: (021) 570-5099, Fax: (021) 573-8732
Pewarta: prwir
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2007