"Hal ini sangat menyesatkan dan dapat membingungkan masyarakat. Saat ini masyarakat perlahan sudah menyadari bahwa plastik sekali pakai berbahaya bagi lingkungan," kata Tiza saat konferensi pers di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan kesadaran masyarakat terhadap bahaya sampah plastik semakin semakin tumbuh. Banyak bukti menunjukkan plastik membuat lingkungan semakin buruk, seperti kasus paus yang terdampar di Wakatobi dan di dalam perutnya ditemukan enam kilogram sampah plastik.
Masyarakat yang sadar tersebut kemudian mengubah perilakunya untuk tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai.
Tak hanya itu beberapa daerah di Indonesia seperti di Balikpapan, Banjarmasin, Bogor dan Bali juga mengeluarkan peraturan daerah untuk membatasi penggunaan plastik sekali pakai.
Namun sayangnya peraturan Gubernur Bali dan Peraturan Wali Kota Bogor tersebut sedang digugat oleh industri plastik dan industri daur ulang plastik ke Mahkamah Agung untuk uji materiil.
Mereka berdalih alasan pelarangan tersebut tidak sesuai dengan UU Pengelolaan Sampah.
Padahal di dalam UU No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maksud dari pengelolaan sampah adalah pengurangan sampah dan penanganan sampah. Pengurangan sampah terdiri dari pembatasan sampah, guna ulang sampah dan daur ulang sampah.
"Pembatasan penggunaan plastik sekali pakai yang diterapkan di beberapa daerah termasuk bagian dari pengurangan sampah yang ada di dalam UU No.19 tahun 2009," kata Tiza.
Dia berharap semua pegiat persampahan, industri, pemulung, pendaur ulang dan LSM dapat memberikan informasi yang benar agar tidak membingungkan masyarakat.
Baca juga: Pemerintah luncurkan Gerakan Indonesia Bersih kurangi sampah plastik
Baca juga: Aktivis sebut Indonesia jadi tujuan limbah plastik impor
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019