"Dari produksi plastik antara tahun 1950 sampai 2015, sekitar 60 persen atau 5 milyar ton dibuang ke lingkungan, 12 persen dibakar di insinerator dan hanya sembilan persen yang didaur ulang," kata Tiza.
Dia mengatakan negara maju sekali pun seperti negara Amerika, Australia dan negara-negara di Eropa tidak ada yang mendaur sampahnya hingga 100 persen. Biasanya mereka menyelesaikan masalah sampah dengan mengimpor sampah plastik ke negara lain.
Sementara itu di Indonesia, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa tahun 2016 hanya 11 persen sampah plastik yang didaur ulang dan baru 67 persen sampah kita yang diangkut.
Tiza mengatakan banyak dari sampah plastik sekali pakai tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan kualitas daur ulangnya tidak baik.
"Paling yang bisa didaur ulang karena nilai ekonominya tinggi hanya botol PET saja, namun kalau kantung plastik atau sedotan itu tidak didaur ulang karena kualitasnya rendah dan tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi," kata dia
Tika mengatakan mengatur pelarangan penggunaan plastik sekali pakai menjadi pilihan yang menarik bagi pemerintah daerah karena sudah banyak alternatif produk di pasaran yang lebih ramah lingkungan.
Selain itu kesadaran masyarakat tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai dapat membantu mengurangi sampah-sampah tersebut.
“Tas lipat sebagai ganti kantong plastik, kotak makan sebagai ganti styrofoam, dan sedotan bambu atau stainless steel sebagai ganti sedotan plastik, saat ini sudah marak dijual dimana-mana. Peraturan yang sifatnya melarang plastik sekali pakai sebenarnya tidak bertujuan membebani atau menghukum siapapun, malah justru terbukti mendorong perubahan perilaku konsumen menjadi perilaku yang lebih ramah lingkungan.”, ujar Tiza.
Baca juga: Madiun latih pengurus bank sampah daur ulang plastik
Baca juga: Warga Denpasar ikuti pelatihan daur ulang plastik
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019