Dewan Adat Papua mengajukan permohonan uji UU 12/1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat (UU Pembentukan Otonom Irba), di Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain Dewan Adat Papua, perkara ini juga dimohonkan oleh Solidaritas Perempuan Papua dan Kemah Injil Gereja Masehi di Tanah Papua (Kingmi), yang merasa bahwa Penjelasan Umum Paragraf 7 dan 8 serta frasa "menimbang" dalam UU Pembentukan Otonom Irba, bertentangan dengan UUD 1945.
"Pelaksanaan dan keputusan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang hanya diikuti sejumlah orang yang tergabung dalam Dewan Musyawarah Pepera sebenarnya tidak sejalan dengan UUD 1945," ujar kuasa hukum para pemohon Yan Christian Warinussy di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.
Selain itu pemohon menilai UU Pembentukan Otonom Irba berakibat pada ketimpangan ratifikasi yang terdapat pada New York Agreement yang disepakati pada 15 Agustus 1962 antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda.
"Sehingga, sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI telah menjadi sumber konflik utama di Papua. Bahwa konsideran UU tersebut telah berakibat pada pembenaran politik yang merugikan hak-hak dasar para pemohon khususnya Badan Hukum," ujar Yan.
Kuasa hukum pemohon lainnya, Simon Patirajawane menyampaikan bahwa yang menjadi dasar pelaksanaan Pepera adalah Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement, yang menyatakan semua orang baik laki-laki maupun perempuan dapat terlibat dalam penentuan nasib sendiri yang dilaksanakan menurut kebiasaan internasional.
"Hal tersebut berbeda dengan sebelum dilaksanakannya Pepera. Bahwa tidak pernah ada konsultasi dan keterlibatan wakil-wakil resmi dari masyarakat Papua dalam proses pembicaraan dan penetapan New York Agreement dan hanya ada konsultasi dengan badan yang telah lama ada di Papua," ujar Simon.
Simon mengatakan hak tersebut mengakibatkan aspirasi masyarakat Papua yang sesungguhnya tidak dapat dipahami.
Adapun dalam pelaksanaan Pepera, pemerintah Indonesia tidak menggunakan sistem "one man one vote", tetapi menggunakan Dewan Musyawarah Pepera.
"Namun, hanya selang dua tahun setelah dilaksanakannya Pepera, yakni pada 1971, pemerintah Indonesia dapat melaksanakan pemilu di tanah Papua dengan sistem one man one vote. Hal ini membuktikan sebetulnya sistem tersebut sangat mungkin dilaksanakan bila dikehendaki,” jelas Simon.
Para pemohon kemudian meminta Mahkamah agar Penjelasan Umum Paragraf 7 sampai 8 UU Otonom Papua adalah bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019