• Beranda
  • Berita
  • BNPB: Desa merupakan ujung tombak penanggulangan bencana

BNPB: Desa merupakan ujung tombak penanggulangan bencana

30 April 2019 18:55 WIB
BNPB: Desa merupakan ujung tombak penanggulangan bencana
Simulasi penanganan bencana yang dilakukan dalam rangkaian acara Gelar Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana di Jawa Timur Tahun 2019, di Lapangan Rampal, Kota Malang, Selasa, (30/4/2019) (Vicki Febrianto)

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa wilayah pedesaan merupakan ujung tombak yang bertindak sebagai penyelamat ekosistem lingkungan di masing-masing daerah guna mencegah bencana.

Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan bahwa dengan komitmen yang kuat khususnya dari masyarakat dan Pemerintah Desa, maka bencana seperti terjadinya banjir, bisa dihindari. Hal itu dikarenakan, dengan adanya komitmen kuat untuk menjaga lingkungan, maka ekosistem akan tetap terjaga.

"Peran desa sangat penting dalam penanggulangan bencana, desa merupakan ujung tombak bagi terselenggaranya penyelamatan ekosistem di daerah masing-masing," ujar Doni, usai menghadiri Gelar Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana di Jawa Timur Tahun 2019, di Lapangan Rampal, Kota Malang, Selasa.

Pihak BNPB menilai perlu adanya kerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, untuk memperkuat peranan desa dalam penanggulangan bencana. Karena, untuk menyelesaikan masalah kebencanaan, tidak bisa dilakukan hanya dengan satu instansi tertentu.

"Kerja sama dengan Kementerian Desa, harus ada. Karena menyelesaikan masalah kebencanaan itu tidak bisa sendirian, perlu metode pentahelix," ujar Doni.

Terkait penanggulangan banjir, lanjut Doni, pihaknya mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menebang pohon secara sembarangan. Untuk daerah-daerah yang kritis dan sangat kritis, diharapkan bisa segera ditanami dengan tanaman yang memiliki dua fungsi yakni fungsi ekonomis dan fungsi ekologis.

Menurut Doni, jika hanya mengedepankan fungsi ekologis, bisa saja mengganggu pendapatan masyarakat sekitar. Namun, jika kedua fungsi tersebut bisa berjalan beriringan, maka alam akan tetap terjaga keseimbangannya, dan masyarakat bisa memperoleh keuntungan.

"Dengan dua fungsi ini, maka rakyat akan memperoleh keuntungan, dan alam akan terjaga keseimbangannya. Setiap ada hujan lebat, mungkin risiko banjir akan berkurang," ujar Doni.

Doni menjelaskan, pemahaman terhadap kebencanaan di masing-masing daerah memang tidak sama, tergantung letak geografis suatu wilayah yang ada. Beberapa diantaranya adalah, ada daerah yang fokus pada gunung berapi, kebakaran lahan, banjir, tanah longsor dan lainnya.

Menurut Doni, pihaknya saat ini tengah menyiapkan upaya mitigasi bencana tsunami, untuk mengurangi jumlah korban jiwa jika terjadi bencana tersebut. Dari hasil riset yang dilakukan oleh sejumlah pakar, vegetasi jenis tertentu dinyatakan mampu meredam atau mengurangi dampak kekuatan tsunami.

"Karena, teknologi sekuat apapun tidak akan mampu menghadapi kekuatan alam. Namun, dari hasil riset sejumlah pakar, ada vegetasi jenis tertentu yang bisa meredam atau mengurangi kekuatan tsunami," kata Doni.

Berdasarkan catatan dari BNPB, berbagai peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia menelan korban hingga ribuan jiwa. Pada 2018, tercatat ada kurang lebih sebanyak 4.814 korban, akibat bencana yang terjadi di beberapa wialyah seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Tengah, dan Selat Sunda.

Sementara pada 2019, mulai Januari hingga April saat ini, tercatat ada sebanyak 438 korban jiwa dari berbagai kejadian bencana.*



Baca juga: Peneliti tsunami KKP usulkan perluasan sempadan ke arah laut

Baca juga: Akademisi ingatkan pentingnya mitigasi struktural dan nonstruktural


 

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019