Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) prihatin masih banyak jurnalis di Indonesia yang belum dilindungi program jaminan kesehatan.
"Regulasi mewajibkan perusahaan pers memberi perlindungan dari risiko gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja. Padahal jaminan ini penting, sebab jurnalis juga pekerja. Tapi sayangnya, ada banyak jurnalis tidak mendapat (program) ini," kata anggota DJSN, Rudy Prayitno saat membuka diskusi publik bertajuk "Menuju Jaminan Kesehatan Semesta, Capaian dan Tantangan" di Hotel Jayakarta, Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Selasa.
Ia menjelaskan tidak ada perbedaan soal kewajiban antara perusahaan umum dengan perusahaan pers. Sebab, perusahaan media punya tanggungan yang sama untuk perlindungan jurnalis.
Alasannya, jurnalis adalah salah satu profesi yang berisiko mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan kerja lainnya yang bisa diakomodir pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. "Seharusnya semua karyawan perusahaan media itu menjadi peserta BPJS Kesehatan, termasuk BPJS Ketenagakerjaan," ujar Rudy.
Setidaknya dua program ini wajib diikuti. "Apabila terjadi masalah saat meliput, capek, kecelakaan. Apalagi mohon maaf, sampai terjadi kematian. Dengan program JKN ini sangat membantu mengurangi beban dari segi pembiayaan," katanya.
Rudy menyatakan keyakinannya tidak ada yang menginginkan kecelakaan apalagi sampai terjadi kematian. Tapi sangat penting dilakukan antisipasi dan partisipasi sejak dini dalam program BPJS untuk mengurangi beban bagi jurnalis yang mengalami kecelakaan atau mendapat perawatan medis.
"Hanya dengan premi Rp16.800 sebulan. semua dibiayai BPJS. Apabila saat aktivitas kerja, tiba tiba terjadi kecelakaan, tidak punya uang, itu bisa langsung ditangani rumah sakit dengan gratis," ucapnya.
Ia menambahkan, kerja jurnalis sangat rentan dengan berisiko gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja selama beraktivitas memburu informasi untuk fungsi kontrol sosial. "Maka saya pikir perlu ada kerjasama antara teman-teman di BPJS dan jurnalis, apalagi didukung Friedrich Ebert Stiftung (FES)," kata Rudy.
Menurutnya, perusahaan pers yang tidak mendaftarkan medianya, maka sama saja dengan melanggar sederet aturan. Karena jurnalis dalam menjalankan profesi dilindungi Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam kaitan JKN, jurnalis juga dilindungi sebagaimana masyarakat lainnya.
Regulasi tertinggi pada Undang Undang Dasar Tahun 1945, pasal 28 huruf h, bahwa setiap warga negara berhak mendapat perlindungan sosial.
Diskusi publik digagas DJSN kerjasama dengan FES, melibatkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram.
Ketua AJI Mataram Sirtupillaili mendorong semua perusahaan pers memberikan jaminan sosial kepada para jurnalisnya. Hal itu sangat penting karena risiko bekerja sebagai jurnalis juga cukup tinggi.
Dengan adanya jaminan sosial, maka jurnalis mendapatkan kepastian perlindungan dari perusahaan. "Memberikan jaminan sosial adalah bagian dari upaya menyejahterakan jurnalis," katanya.
Rina Julvianty selaku Program Coordinator FES juga mendorong jurnalis mendapat manfaat dari program BPJS. Sebagai bagian dari lembaga kontrol, pers tidak hanya aktif menyoroti persoalan sosial seperti masalah kesehatan.
Lembaganya bekerjasama dengan AJI Indonesia dan AJI Mataram menyelenggarakan kegiatan itu untuk mendorong kesadaran dan partisipasi dalam program jaminan kesehatan.
Terlebih masyarakat kerap bingung dengan perubahan aturan, terlebih ada Peraturan Presiden (Perpres) yang baru tentang jaminan kesehatan. "Ketika mendapat pelayanan, baru kita tahu ada perubahan aturan. Nah, ini media bisa mengambil peran," katanya.*
Baca juga: Media apresiasi gerakan peduli pekerja rentan BPJS-TK
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan rangkul pekerja media asing
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019