• Beranda
  • Berita
  • Pekerja rumahan desak penerbitan aturan untuk melidungi mereka

Pekerja rumahan desak penerbitan aturan untuk melidungi mereka

1 Mei 2019 17:44 WIB
Pekerja rumahan desak penerbitan aturan untuk melidungi mereka
Pekerja Rumahan melakukan aksi Hari Buruh di Jakarta, Rabu (1/5/2019). (ANTARA/ Aubrey Fanani)
Para pekerja rumahan, yang biasa menerima pekerjaan borongan seperti menjahit kancing dan mengelem sandal, meminta pemerintah menerbitkan aturan khusus mengenai pelindungan pekerja rumahan.

"Kami butuh pengakuan, karena selama ini sifatnya tersembunyi dan tidak ada perlindungan atas pekerjaan kami," kata Muhayati dari Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia di sela aksi untuk memperingati Hari Buruh Internasional di Jakarta, Rabu.

Tanpa peraturan perlindungan, ia mengatakan, para pekerja rumahan sering yang rumah mereka menjadi semacam "pabrik" harus menanggung kerugian karena harus mengerjakan pekerjaan pesanan pabrik menggunakan fasilitas pribadi.

"Karena dikerjakan di rumah, perusahaan tidak membayar listrik, tidak membayar air. Semua biaya tersebut ditanggung oleh pekerja," kata Muhayati, yang menerima pekerjaan menjahit sarung tangan dan kaki bayi dengan upah Rp30.000 per 10 lusin pasang sarung tangan dan kaki bayi.

Dia mengatakan jumlah pekerja rumahan di Indonesia "banyak sekali", termasuk yang ada di daerah Penjaringan (Jakarta Utara), namun tidak terdata.

Menurut dia, upah pekerja rumahan juga lebih rendah dari buruh pabrik dan standar Upah Minimum Regional yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Muhayati mencontohkan, teman-temannya yang menerima pekerjaan rumahan mengelem sandal hanya mendapat upah Rp300 per sepasang sandal dan kalau melakukan kesalahan harus mengganti Rp14 ribu per pasang sandal

"Untuk mengerjakan pesanan itu bisa dari pagi hingga malam hari, belum lagi jika perusahaan minta kami membuat cepat. Kami bisa mengerjakannya 24 jam," kata dia.

Selain itu, orang-orang yang menerima pekerjaan mengelem sandal harus menghirup bau lem yang menyengat dan membuat udara sekitar rumahnya tidak sehat. Mereka hanya bisa menghidupkan kipas agar bau lem keluar dari rumah. Namun risikonya, kata Muhayati, badan menjadi kaku akibat terus-menerus kena angin. Mereka juga harus menanggung biaya listrik dari penggunaan kipas angin.

Muhayati mengatakan bahwa biasanya tidak ada kontrak perjanjian dalam pekerjaan mereka. Pemberi kerja juga tidak memberikan jaminan kesehatan dan jaminan sosial yang lain.

Biasanya mereka mendapatkan pesanan barang-barang tersebut melalui perantara, satu perantara bisa membawahi hingga 15 orang.

"Jadi nanti perusahaan bayar ke perantara kemudian perantara bayar ke pekerja rumahan," kata Muhayati, yang mengikuti aksi bersama belasan pekerja rumahan.

Baca juga:
Orasi politik hingga Pidato Bung Tomo warnai Peringatan Hari Buruh

Pekerja Bali tuntut penerbitan perda pelindungan pekerja lokal
 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019